Dukuh Terpencil di Lereng Bukit

Ini merupakan dunia baru bagi Aldi. Bagaimana tidak? Dia biasa tinggal
di tengah hiruk pikuk perkotaan, saat ini harus tinggal di sebuah desa
terpencil yang cukup jauh dari peradaban. Ini memang tugas. Tiga bulan
lalu ia diterima sebagai PNS di instansi yang berhubungan dengan desa
tertinggal.

Sebagai sarjana teknik sipil ia ditugaskan untuk mendesain sekaligus
mengerjakan sebuah proyek irigasi. Desa Klecak, itu nama desa yang ia
tempati saat ini. Desa tersebut berada di lereng perbukitan, sebenarnya
merupakan desa yang cukup subur. Hanya saja kurang ditopang dengan
kondisi air yang memadai karena belum ada saluran irigasi yang permanen.
Jika ada saluran irigasi, itu pun hanya saluran terbuat dari tanah yang
digali memanjang. Topografi yang berbukit membuat saluran itu kerap
bocor sehingga kurang maksimal.

Disinilah tugas utama Aldi untuk merancang dan membuat saluran irigasi
permanen dari air terjun yang berada di ujung desa dan berbatasan dengan
hutan lindung. Tentu dengan peran swadaya masyarakat setempat. Panjang
saluran direncanakan sekitar 900 meter menyisir lereng bukit dengan
jarak terdekat dari dukuh paling ujung adalah 500 meter.

Dengan wilayah berbukit, membuat desa itu terbagi dalam beberapa
pedukuhan yang saling terpisah. Jalan antar pedukuhan di desa itu
bebukit, naik turun terhubung dengan jalan setapak yang membelah ladang.

Sebagai pendatang sekaligus tamu bagi desa itu, awalnya ia diminta
tinggal di rumah pak Kades, Sukarya yang terbilang cukup megah untuk
ukuran orang desa. Meski jaraknya cukup jauh dengan lokasi yeng hendak
dibangun, Ia mau menuruti saran tersebut. Apalagi, nyalinya sedikit
kecut juga tinggal di daerah terpencil yang belum ada listrik.
Pekan-pekan pertama ia harus berjalan sekitar 45 menit untuk survey
menuju lokasi pembanguan yang berada di dukuh Binangun yang merupakan
dukuh paling ujung di desa Klecak.

Setelah dua pekan tinggal di tempat pak Kades ia membulatkan tekat untuk
tinggal di Dukuh Binangun dengan alasan lebih fokus pada pekerjaan.
Apalagi ia ingin cepat-cepat menyelesaikan proyek itu dengan harapan
bisa kembali ke kota kecamatan yang lebih dekat dengan dunia luar.

Dukuh yang ia tempati saat ini berjumlah sekitar 30 kepala keluarga.
Masyarakatnya sangat ramah dan masih menjujung tinggi adat istiadat.
Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai peternak dan petani di
ladang.

Aldi sendiri, di dukuh itu di tempatkan di rumah pasangan suami istri
Sanwirya-Rukiah. Mereka adalah sepasang suami istri yang sudah cukup
tua. Usianya sekitar 53 dan 49 tahun. Mereka tinggal sendiri karena
ketiga anak perempuannya sudah menikah dan ikut suaminya. Sedangkan si
bungsu yang laki-laki sedang merantau ke kota. Keramahan kedua pasangan
itu membuat ia betah tinggal di rumah itu meski terbilang sederhana.
Apalagi Aldi sudah dianggap seperti anaknya sendiri.

Awal pekan ke tiga masih dilakoni dengan tugas survey dan merancang
gambar bangun irigasi, guna menentukan titik-titik yang dirasa tepat
dilalui saluran tersebut. Dengan tinggal di rumah pasangan
Sanwirya-Rukiah membuat kerja lebih mudah dan jaraknya lebih dekat.
Untuk menuju air terjun yang menjadi sumber air irigasi hanya butuh
waktu 15 menit saja.

Tidak seperti hari-hari sebelumnya, hari ini Aldi berangkat lebih siang
menuju lokasi survei. Ia agak santai sebab sedikit lagi rancangannya
hampir sempurna. Di tengah terik matahari, Aldi berjalan menyusuri jalan
setapak. Di sisi kiri terhampar ladang yang ditumbuhi tanaman jagung
dan di sebelah kanan ada tebing perbukitan. Sambil mengamati sekitar ia
bergumam dalam hati “Jika saluran irigasi ini selesai dibangun, tentu
tidak hanya tanaman jagung yang bisa tumbuh di ladang tersebut, namun
bisa pula ditanamani padi yang lebih produktif secara ekonomi,”

Saat hendak sampai lokasi air terjun matanya melihat satu perempuan
dengan anak gadisnya. Mereka tengah sibuk menyiangi rumput di lahan
jagung. Perempuan itu adalah Ningsih, usianya sekitar 40 tahun dan anak
gadisnya Tari usianya baru 11 tahun. Aldi tahu nama mereka karena mereka
tinggal tak jauh dari rumah pasangan Sanwirya yang ia tempati saat ini.
Bahkan saat survey sebelumnya ia beberapa kali bertemu dengan mereka
dan saling sapa.

Ningsih sebenarnya masih memiliki suami, namun sudah 10 tahun sejak
merantau, suaminya tidak pulang ke rumah. Ada slentingan suaminya
menikah lagi, namun itu semua hanya kabar burung. Itu membuat Ningsih
harus membesarkan kedua anaknya sendirian, semua anaknya perempuan.
Rusmi si sulung sudah menikah dua tahun lalu dan ikut suaminya di desa
tetangga, sehingga ia hanya tinggal dengan si bungsu Tari. Kesibukan
sehari-hari hanya diisi dengan mengurus rumah dan ladang. Sesekali
dibantu Tari.
Saat semakin dekat Aldis menyoba menyapa Ningsing. “Rajin sekali mbak.
Sudah siang masih di ladang,”. Mendengar itu Ningsih menoleh “Eh..Iya
mas..kalau ndak rajin kami makan apa..kami hanya mengandalkan hasil
ladang untuk makan. Tidak seperti mas Aldi yang tidak harus panasan di
ladang sudah punya gaji tinggi,” ujar Ningsih. “Ah bisa saja mbak
ini..,” ujar Aldi mengelak.

Karena survei hampir selesai, Aldi menyempatkan berbincang-bincang
dengan Ningsih. Saat berbincang-bincang inilah ia baru benar-benar
memperhatian Ningsih. Meski usianya sudah berkepala empat namun badan
perempuan tersebut sintal dan kencang, mungkin karena biasa bekerja di
ladang. Tingginya sekitar 155 cm. Dadanya besar bulat terlihat jelas di
balut kebaya warna merah yang lusuh. Bahkan sebagian gundukan dadanya
menyembul di antara kebaya yang dipakainya. Kulitnya berwarna agak hitam
namun terlihat manis. Jika saja bajunya tidak lusuh mungkin masih
terlihat kecantikannya.

Saat tengah memperhatikan Ningsih ini Aldi dikejutkan suara Tari. “Bu
sudah siang, Tari lelah,” ujar Tari. Mendengar hal ini Ningsih meminta
anaknya pulang dulu. Mungkin karena ndak enak hati karena masih ngobrol
dengan Aldi. “Sudah kamu pulang dulu, nanti ibu menyusul,” jelas
Ningsih.

Setelah Tari pulang Ningsih meminta obrolan dilanjutkan di gubuk yang
berada di tengah ladang. “Mas jangan ngobrol di sini. Di gubuk saja,
sekalian saya mau ambil jagung muda yang dipetik tadi ,” ujar Ningsih.
“Lho masih muda kok sudah dipetik,” ujar Aldi heran. “Ya memang harus
dipetik. Satu tanaman hanya satu jagung saja. Supaya besar. Jika berbuah
lebih dari satu dipetik saat muda untuk dijual ke pasar guna di masak
sayur,” ujar Nigsih.

Tanpa berakata lagi Aldi berjalan mengikuti Ningsih. Saat berjalan
itulah matanya kembali memperhatikan tubuh Ningsih. Saat itu dimatanya
makin jelas melihat bahwa tubuh perempuan di depannya benar-benar
sintal. Pantatnya besar dan kencang, terlihat jelas dibalut kain jarit
sebatas lutut. Melihat itu tak terasa Aldi menelan lidah dan jakunnya
naik turun, nafsunya perlahan namun pasti mulai naik.

Saat menyusuri pematang itulah tiba-tiba Ningsih terpeleset dan
berteriak kecil. Dengan sigap Aldi menangkap tubuh Ningsih dari
belakang. Namun itu justru membuat mereka berdua limbung, terpelintir
dan jatuh berguling ke ladang jagung di tepi pematang. Secara naluriah
tangan kanan Aldi melindungi bagian kepala ningsih agar tidak terbentur
tanah sedangkan tangan kiri memegang bagian pinggang. Sementara kedua
tangan Ningsih mencengkram erat pundak Aldi. Kondisi ini justru membuat
tubuh Aldi menghimpit erat tubuh Ningsih.

“Tidak apa-apa mbak?,” tanya Aldi sambil khawatir. Ningsih yang ditanya
malah diam, terlihat wajahnya masih kaget dan takut. Namun itu tak
berlangsung lama. “Ndak apa-apa hanya kaki dan punggungku sedikit
sakit,” jelas Ningsih. Mendengar ini Aldi mencoba meraba punggung
Ningsih, namun tiba-tiba Ningsih sadar bahwa tubuhnya terhimpit oleh
Aldi. Ia buru mendorong tubuh Aldi, ini membuat Aldi juga sadar bahwa ia
menghimpit Ningsih.

Aldi lantas buru-buru mengangkat tubuhnya namun saat hendak duduk justru
melelihat pemandangan indah di depan matanya. Kancing kebaya yang
dipakai oleh Ningsih lepas dan putus. Begitu pula dengan kait BH bagian
depan sobek dan nyaris putus. Di balik BH lusuh tersebut menyembul
payudara besar milik Ningsih. Benar-benar besar menantang dan masih
kencang. Melihat hal ini, jantung Aldi berdetak lebih cepat, matanya
terus tertuju kepada kedua payudara Ningsing.

Dipandangi seperti itu Ningsih sadar bagian depan tubuhnya yang sensitif
terbuka. Ia terkejut dan lantas menutup payudaranya dengan kedua
tangannya. Wajahnya memerah malu. Melihat hal ini Aldi mencoba
memalingkan wajahnya meski dihati tidak ingin melepaskan pemandangan
indah di depan matanya. Melihat Aldi berpaling Ningsih lantas segera
membenahi kebayanya namun karena kancing bajunya sudah putus tidak bisa
menutupi secara sempurna. Salah satu tangganya harus tetap memegang
kebaya itu agar tidak terbuka.

Dari duduk bersimpuh ia mencoba berdiri. Saat hendak berdiri itulah
tiba-tiba pergelangan kakinya terasa sakit, karena terkilir. Namun ia
paksakan berdiri, itu justru membuat dirinya goyah dan jatuh kembali.
Sial sebelum jatuh, kakinya menginjak kain jarik yang menutupi bagian
bawah tubuhnya. Karena ikatannya sudah longgar membuat kain tersebut
terlepas. Celakanya tanpa celana dalam. Mendengar teriakan lirih Ningsih
saat jatuh membuat Aldi menengok kembali. Saat itu terlihat bagian
bawah tubuh ningsih terbuka.

Kondisi ini membuat wajah Ningsih kian memerah menahan malu. Rasanya
ingin menangis. Kedua pahanya secepatnya ditutup dan kakinya ditekuk
untuk menutupi area sensitifnya. Sedangkan kedua tangannya masih
memegang erat kebayanya.

Disuguhi pemandagan indah seperti ini membuat nafsu Aldi kian memuncak.
Namun demikian masih ada rasa iba dihatinya. Dengan perlahan dihampiri
Ningsih, diambilnya kain jarit yang terlepas kemudian dipakaikan untuk
menutup tubuh bagian bawah Ningsih. Sambil berkata lirih “Maaf mbak,”.
Kemudian Aldi membopong Ningsih. Namun saat hendak dibopong Ningsih
menolak “Jangan mas malu dilihat orang desa,” . Namun Aldi tetap
membopong perempuan tersebut “Tidak apa-apa. Kaki mbak sedang sakit aku
bantu gendong ke gubuk. Siapa tahu setelah istirahat bisa sembuh,’ jelas
Aldi.

Nafsu yang sudah memuncak, membuat Aldi tidak membopong ningsih ke
Gubuk. Justru ia berjalan ke tengah-tengah ladang jagung. “Mau kemana
mas, gubuknya disana..ini mau kemana,” ujar Ningsih. Mendapat pertanyaan
seperti itu Aldi hanya diam dan terus berjalan masuk diantara rerimbuan
pohon jagung. Saat benar-benar ditengah ladang di dudukan Ningsih di
atas tanah.

“Mas..mau apa ini..jangan macam-macam,” kata Ningsih lirih mulai
curiga. Wajahnya kelihatan mulai pucat. “Tenang saja mbak aku bantu
supaya sembuh,” jelas Aldi.

Setelah membaringkan ningsih secepat kilat ia memeluk tubuh perempuan
itu dan melumat bibirnya. Ini membuat ningsih gelagapan. Dengan reflek
ningsih hendak mendorng tubuh Aldi namun tenaganya kurang kuat. Justru
himpitan tubuh aldi kian kuat.

Tidak hanya melumat bibir Ningsih, tangan Aldi pun mulai bergerilya di
dua bukit kembar ningsih. “benar-benar masih kenyal dan kencang,” batin
Aldi. Ini membuat ia kian buas meremas payudara Ningsih.

Remasan Aldi membuat ningsih menggelinjang. “Ouwh..Ouwh..” desahan
keluar dari bibir ningsih pelan. Namun tangannya masih menahan tubuh
Aldi.

Dari bibir ciuman diarahkan ke leher. Bau keringah khas wanita
benar-benar terasa, ini membuat Aldi kian bernafsu. Diciumi dan dijilati
leher ningsih dengan liar. Ciuman aldi membiat ningsih blingsatan.
Nafsu mulai menjalari tubuh ningsih. Kedua tangganya yang tadi menolak
tubuh aldi kian melemas. “Jangan mas..ah..ah,’ desah Ningsih.

Mendengar desahan ningsih membuat Aldi kian bersemangat. Kali ini ia
menelusuri payudara ningsih. Dibenamkan wajahnya dalam dua bukit kembar
ningsih yang membusung dan menantang. Dari antara dua bukit itu lidahnya
bermain, menyapu pelan hingga ke puting susunya. Dikulumnya dengan
halus dan kadang digigit pelan. Ini membuat Ningsih kian menceracau.
“Mmmm ahhh..,” desahan keluar dari mulut ningsih.

Dari payudara Aldi kembali melumat bibir Ningsih. Lidahnya bermain
dilangit-langit mulut ningsih. Ini membuat desahan ningsih kian kuat.
Sembari melumat bibir perempuan setengah baya ini, dengan pelan Aldi
melepaskan bajunya sendiri. Setelah bajunya lepas dihimpit kembali tubuh
ningsih. Kali ini tidaklah keras namun halus dan penuh perasaan.
Gesekan antara dada yang bidang dengan payudara yang membusung membuat
dua insan itu kian tenggelam dalam nafsu.

Setelah puas melumat bibiur ningsih dan mempermaikan payudara perempuan
itu. Denga pelan dilepaskannya kain jarit yang menutupi bagian bawah
perempuan itu. Secara reflek Ningsih menghimpitan kedua pahanya secara
erat. “Jangan mas..jangan berlebihan,” jelas Ningsing.

“Tenang aja mbak..” kata aldi. Dengan kedua tangganya ia membuka paha
Ningsih. Agak susah karna ada sediikit perlawaan. Diciuminya paha
ningsih dengan halus. Dengan tangan kananya diremas pelan payudara
ningsih. Ini membuat Ningsih kembali melayang. Dua paha yang tadinya
menghimpit keras, pelan-pelan melunak dan mulai terbuka. Dari paha
ciuman Aldi terus naik dan mendapati bukit mungil yang ditumbuhi rambut.
Pelan-pelan dibuka bukit kecil tersebut dan mulai dijilat. Baunya
sangat khas, namun Aldi sudah tidak mempedulikannya. dengan nafsu di
sedot pelan belahan bukit kecil tersebut.

Ningsih yang sudah lama tidak disentuh dan belum pernah merasakan
pengalaman seperti ini langsung melayang. Nafasnya kian memburu. Bahkan
sesekali pantatnya diangkat saat sapuan dan sedotan halus dilancarkan di
klitoris Ningsih.

Puas mempermainkan bagian bawah Ningsih, aldi melepas celananya.
Terpampang batang kemaluan Aldi yang cukup besar dan panjang. Melihat
hal ini mata ningsih terbelalak. “Mas..sudah mas..jangan dilanjutkan..
ini dilarang,” ujar ningsih dengan muka sendu dan memerah.

Aldi hanya tersenyum, dengan pelan senjatanya ini dimasukan ke liang
senggama milik ningsih. Dimasukan ujungnya ditarik lagi. Meski sudah
becek namun agak sempit. Barangkali karena ningsih sudah lama tidak
disentuh. Itu dilakukan berulang-ulang. Saat setengah batang kemaluannya
sudah masuk setengah ke liang senggama ningsih, dengan keras aldi
menekannya dan..Bless..masuk semua. Terdengar jeritan ningsih tertahan.
“ahhh..mass,’” hanya itu yang keluar dari mulut ningsih.

Didalam liang kemaluan ningsih aldi merasakan batang kemaluannya serasa
dipijit pijit oleh kontraksi otot vagina ningsih. Hangat, lembut dan
nikmat. Begitupula dengan ningsih, merasakan kenikmatan yang tiada tara.
Setelah sepuluh tahun lebih tidak disentuh oleh suaminya ia benar-benar
merasakan dahaganya mulai tersalurkan. Saat batang kemaluan Aldi yang
besar dan panjang ini menembus masuk ke dalam liang senggamanya serasa
ada yang mengganjal namun nikmat. ia ingin menelan semuanya dan tak
ingin melepaskannya.

Pelan Aldi mulai menggoyang pantatnya. Gesekan antara dua kemaluan yang
berbeda jenis ini membuat sensasi kenikmatan yang luar biasa. Semua
syaraf terasa seperti teraliri listrik. Nafsu pun kian memuncak desahan
dari mulut ningsih kian keras…”Ah..ah…mas..terus..ahh,” desah
ningsih tak ada hentinya.

Aldi terus mempercepat goyangannya, pelan namun pasti ningsih juga
menggoyangkan pantatnya membuat kemaluan aldi sperti disedot dan
diremas-remas. Ditekuknya paha ningsih dan dihunjamkan kian keras batang
kemaluan Aldi ke liang vagina Ningsih. Seperti kesetanan Aldi terus
mempercepat memompa ningsih. Begitupula dengan ningsih kian menggeliat
dan mendesah keras…”auh..ohhh…yaah..masss…teruss..,” Ia sudah
tidak memperdulikan sekitarnya. Kenimatan terus menjalari dua insan
itu..detak jantungnya berpacu kian keras, pada satu titik, waktu serasa
berhenti dan “crooot” “ahhhh………” erangan panjang menandakan
keduanya mencapai orgasme. Semua hasrat telah tersalurkan, sendi-sendi
terasa lemas namun mereka masih berpelukan serasa tidak ingin saling
melepaskan.

Aldi kemudian mengecup kening Ningsih..”makasih mbakk..” air mata
menetes dari ujung mata ningsih. Ia kemudian memeluk erat aldi sambil
berbisik “makasih juga mas…,” jelasnya.

Setelah menyelesaikan hajatnya ..aldi membopong ningsih ke gubuk di
tegah sawah. Ia kemudian menuju air terjun yang tak jauh dari ladang
itu, bersih-bersih kemudian mengambil air dengan ember dan membersihkan
tubuh ningsih dari kotoran tanah. Setelah beristrahat sejenak ia memapah
ningsih pulang.

Proudly powered by WordPress