Mbak Ana Sayang

Namaku Andi mahasiswa di sebuah universitas terkenal di Surakarta. Di
kampungku sebuah desa di pinggiran kota Sragen ada seorang gadis, Ana
namanya. Ana merupakan gadis yang cantik, berkulit kuning dengan body
yang padat didukung postur tubuh yang tinggi membuat semua kaum Adam
menelan ludah dibuatnya. Begitu juga dengan aku yang secara diam-diam
menaruh hati padanya walaupun umurku 5 tahun dibawahnya, tapi rasa ingin
memiliki dan nafsuku lebih besar dari pada mengingat selisih umur kami.
Kebetulan rumah Mbak Ana tepat berada di samping rumahku dan rumah itu
kiranya tidak mempunyai kamar mandi di dalamnya, melainkan bilik kecil
yang ada di luar rumah. Kamar Mbak Ana berada di samping kanan rumahku,
dengan sebuah jendela kaca gelap ukuran sedang. Kebiasaan Mbak Ana jika
tidur lampu dalam rumahnya tetap menyala, itu kuketahui karena kebiasaan
burukku yang suka mengintip orang tidur, aku sangat terangsang jika
melihat Mbak Ana sedang tidur dan akhirnya aku melakukan onani di depan
jendela kamar Mbak Ana.

Ketika itu aku pulang dari kuliah lewat belakang rumah karena sebelumnya
aku membeli rokok Sampurna A Mild di warung yang berada di belakang
rumahku. Saat aku melewati bilik Mbak Ana, aku melihat sosok tubuh yang
sangat kukenal yang hanya terbungkus handuk putih bersih, tak lain
adalah Mbak Ana, dan aku menyapanya, “Mau mandi Mbak,” sambil menahan
perasaan yang tak menentu. “Iya Ndik, mau ikutan..” jawabnya dengan
senyum lebar, aku hanya tertawa menanggapi candanya. Terbersit niat
jahat di hatiku, perasaanku menerawang jauh membanyangkan tubuh Mbak Ana
bila tidak tertutup sehelai benangpun.

Niat itupun kulakukan walau dengan tubuh gemetar dan detak jantung yang
memburu, kebetulan waktu itu keadaan sunyi dengan keremangan sore
membuatku lebih leluasa. Kemudian aku mempelajari situasi di sekitar
bilik tempat Mbak Ana mandi, setelah memperkirakan keadaan aman aku
mulai beroperasi dan mengendap-endap mendekati bilik itu. Dengan detak
jantung yang memburu aku mencari tempat yang strategis untuk mengintip
Mbak Ana mandi dan dengan mudah aku menemukan sebuah lubang yang cukup
besar seukuran dua jari. Dari lubang itu aku cukup leluasa menikmati
kemolekan dan keindahan tubuh Mbak Ana dan seketika itu juga detak
jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya, tubuhku gemetar hingga
kakiku terasa tidak dapat menahan berat badanku. Kulihat tubuh yang
begitu sintal dan padat dengan kulit yang bersih mulus begitu merangsang
setiap nafsu lelaki yang melihatnya, apalagi sepasang panyudara dengan
ukuran yang begitu menggairahkan, kuning langsat dengan puting yang
coklat tegak menantang setiap lelaki.

Kemudian kupelototi tubuhnya dari atas ke bawah tanpa terlewat
semilipun. Tepat di antara kedua kaki yang jenjang itu ada segumpal
rambut yang lebat dan hitam, begitu indah dan saat itu tanpa sadar aku
mulai menurunkan reitsletingku dan memegangi kemaluanku, aku mulai
membayangkan seandainya aku dapat menyetubuhi tubuh Mbak Ana yang begitu
merangsang birahiku. Terasa darahku mengalir dengan cepat dan dengusan
nafasku semakin memburu tatkala aku merasakan kemaluanku begitu keras
dan berdenyut-denyut. Aku mempercepat gerakan tanganku mengocok
kemaluanku, tanpa sadar aku mendesah hingga mengusik keasyikan Mbak Ana
mandi dan aku begitu terkejut juga takut ketika melihat Mbak Ana melirik
lubang tempatku mengintipnya mandi sambil berkata, “Ndik ngintip yaa..”
Seketika itu juga nafsuku hilang entah kemana berganti dengan rasa
takut dan malu yang luar biasa. Kemudian aku istirahat dan mengisap
rokok Mild yang kubeli sebelum pulang ke rumah, kemudian kulanjutkan
kegiatanku yang terhenti sesaat.

Setelah aku mulai beraksi lagi, aku terkejut untuk kedua kalinya,
seakan-akan Mbak Ana tahu akan kehadiranku lagi. Ia sengaja memamerkan
keindahan tubuhnya dengan meliuk-liukkan tubuhnya dan meremas-remas
payudaranya yang begitu indah dan ia mendesah-desah kenikmatan. Disaat
itu juga aku mengeluarkan kemaluanku dan mengocoknya kuat-kuat. Melihat
permainan yang di perlihatkan Mbak Ana, aku sangat terangsang ingin
rasanya aku menerobos masuk bilik itu tapi ada rasa takut dan malu.
Terpaksa aku hanya bisa melihat dari lubang tempatku mengintip.

Kemudian Mbak Ana mulai meraba-raba seluruh tubuhnya dengan tangannya
yang halus disertai goyangan-goyangan pinggul, tangan kanannya berhenti
tepat di liang kewanitaannya dan mulai mengusap-usap bibir kemaluannya
sendiri sambil tangannya yang lain di masukkan ke bibirnya. Kemudian
jemari tangannya mulai dipermainkan di atas kemaluannya yang begitu
menantang dengan posisi salah satu kaki diangkat di atas bak mandi, pose
yang sangat merangsang kelelakianku. Aku merasa ada sesuatu yang
mendesak keluar di kemaluanku dan akhirnya sambil mendesah lirih,
“Aahhkkhh..” aku mengalami puncak kepuasan dengan melakukan onani sambil
melihat Mbak Ana masturbasi. Beberapa saat kemudian aku juga mendengar
Mbak Ana mendesah lirih, “Oohh.. aahh..” dia juga mencapai puncak
kenikmatannya dan akhirnya aku meninggalkan tempat itu dengan perasaan
puas.

Di suatu sore aku berpapasan dengan Mbak Ana.
“Sini Ndik,” ajaknya untuk mendekat, aku hanya mengikuti kemauannya, terbersit perasaan aneh dalam benakku.
“Mau kemana sore-sore gini,” tanyanya kemudian.
“Mau keluar Mbak, beli rokok..” jawabku sekenanya.
“Di sini aja temani Mbak Ana ngobrol, Mbak Ana kesepian nih..” ajak Mbak Ana.
Dengan perlahan aku mengambil tempat persis di depan Mbak Ana, dengan
niat agar aku leluasa memandangi paha mulus milik Mbak Ana yang
kebetulan cuma memakai rok mini diatas lutut.
“Emangnya pada kemana, Mbak..” aku mulai menyelidik.
“Bapak sama Ibu pergi ke rumah nenek,” jawabnya sambil tersenyum curiga.
“Emang ada acara apa Mbak,” tanyaku lagi sambil melirik paha yang halus mulus itu ketika rok mini itu semakin tertarik ke atas.
Sambil tersenyum manis ia menjawab, “Nenek sedang sakit Ndik, yaa.. jadi aku harus nunggu rumah sendiri.”
Aku hanya manggut-manggut.
“Eh.. Ndik ke dalam yuk, di luar banyak angin,” katanya.
“Mbak punya CD bagus lho,” katanya lagi.

Tanpa menunggu persetujuanku ia langsung masuk ke dalam, menuju TV yang
di atasnya ada VCD player dan aku hanya mengikutinya dari belakang,
basa-basi aku bertanya, “Filmnya apa Mbak..”
Sambil menyalakan VCD, Mbak Ana menjawab, “Titanic Ndik, udah pernah nonton.”
Aku berbohong menjawab, “Belum Mbak, filmnya bagus ya..”
Mbak Ana hanya mengangguk mengiyakan pertanyaanku.

Setelah film terputar, tanpa sadar aku tertidur hingga larut malam dan
entah mengapa Mbak Ana juga tidak membangunkanku. Aku melihat arloji
yang tergantung di dinding tembok di atas TV menandakan tepat jam 10
malam. Aku menebarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang nampak sepi
dan tak kutemui Mbak Ana. Pikiranku mulai dirasuki pikiran-pikiran yang
buruk dan pikirku sekalian tidur disini aja. Memang aku sering tidur di
rumah teman dan orang tuaku sudah hafal dengan kebiasaanku, akupun tidak
mencemaskan jika orang tuaku mencariku. Waktu berlalu, mataku pun tidak
bisa terpejam karena pikiran dan perasaanku mulai kacau,
pikiran-pikiran sesat telah mendominasi sebagian akal sehatku dan
terbersit niat untuk masuk ke kamar Mbak Ana. Aku terkejut dan nafasku
memburu, jantungku berdetak kencang ketika melihat pintu kamar Mbak Ana
terbuka lebar dan di atas tempat tidur tergolek sosok tubuh yang indah
dengan posisi terlentang dengan kaki ditekuk ke atas setengah lutut
hingga kelihatan sepasang paha yang gempal dan di tengah selakangan itu
terlihat dengan jelas CD yang berwarna putih berkembang terlihat ada
gundukan yang seakan-akan penuh dengan isi hingga mau keluar.

Nafsu dan darah lelakiku tidak tertahan lagi, kuberanikan mendekati
tubuh yang hanya dibungkus dengan kain tipis dan dengan perlahan
kusentuh paha yang putih itu, kuusap dari bawah sampai ke atas dan aku
terkejut ketika ada gerakan pada tubuh Mbak Ana dan aku bersembunyi di
bawah kolong tempat tidur. Sesaat kemudian aku kembali keluar melihat
keadaan dan posisi tidur Mbak Ana yang menambah darah lelakiku berdesir
hebat, dengan posisi kaki mengangkang terbuka lebar seakan-akan
menantang supaya segera dimasuki kemaluan laki-laki.

Aku semakin berani dan mulai naik ke atas tempat tidur, tanpa pikir
panjang aku mulai menjilati kedua kaki Mbak Ana dari bawah sampai ke
belahan paha tanpa terlewat semilipun. Seketika itu juga ia
menggelinjang kenikmatan dan aku sudah tidak mempedulikan rasa takut dan
malu terhadap Mbak Ana. Sampai di selangkangan, aku merasa kepalaku
dibelai kedua tangan yang halus dan akupun tidak menghiraukan kedua
tangan itu. Lama-kelamaan tangan itu semakin kuat menekan kepalaku lebih
masuk lagi ke dalam kemaluan Mbak Ana yang masih terbukus CD putih itu.
Dia menggoyang-goyangkan pantatnya, tanpa pikir panjang aku menjilati
bibir kemaluannya hingga CD yang semula kering menjadi basah terkena
cairan yang keluar dari dalam liang kewanitaan Mbak Ana dan bercampur
dengan air liurku.

Aku mulai menyibak penutup liang kewanitaan dan menjilati bibir kemaluan
Mbak Ana yang memerah dan mulai berlendir hingga Mbak Ana terbangun dan
tersentak. Secara refleks dia menampar wajahku dua kali dan mendorong
tubuhku kuat-kuat hingga aku tersungkur ke belakang dan setelah sadar ia
berteriak tidak terlalu keras, “Ndik kamu ngapaiin..” dengan gemetar
dan perasaan yang bercampur aduk antara malu dan takut, “Maafkan aku
Mbak, aku lepas kontrol,” dengan terbata-bata dan aku meninggalkan kamar
itu. Dengan perasaan berat aku menghempaskan pantatku ke sofa biru yang
lusuh. Sesaat kemudian Mbak Ana menghampiriku, dengan tergagap aku
mengulangi permintaan maafku, “Ma..ma..afkan.. aku Mbak..” Mbak Ana cuma
diam entah apa yang dipikirkan dan dia duduk tepat di sampingku.
Beberapa saat keheningan menyelimuti kami berdua dan kamipun disibukkan
dengan pikiran kami masing-masing sampai tertidur.

Pagi itu aku bangun, kulihat Mbak Ana sudah tidak ada lagi di sisiku dan
sesaat kemudian hidungku memcium aroma yang memaksa perutku
mengeluarkan gemuruh yang hebat. Mbak Ana memang ahli dibidang masak.
Tiba-tiba aku mendengar bisikan yang merdu memanggil namaku, “Ndik ayo
makan dulu, Mbak udah siapin sarapan nih,” dengan nada lembut yang
seolah-olah tadi malam tidak ada kejadian apa-apa. “Iya Mbak, aku cuci
muka dulu,” aku menjawab dengan malas.

Sesaat kemudian kami telah melahap hidangan buatan Mbak Ana yang ada di
atas meja, begitu lezatnya masakan itu hingga tidak ada yang tersisa,
semua kuhabiskan. Setelah itu seperti biasa, aku menyalakan rokok Mild
kesayanganku, “Ndik maafkan Mbak tadi malam ya,” Mbak Ana memecah
keheningan yang kami ciptakan.
“Harusnya aku tidak berlaku kasar padamu Ndik,” tambahnya.
Aku jadi bingung dan menduga-duga apa maksud Mbak Ana, kemudian akupun
menjawab, “Seharusnya aku yang meminta maaf pada Mbak, aku yang salah,”
kataku dengan menundukkan kepala.
“Tidak Ndik.. aku yang salah, aku terlalu kasar kepadamu,” bisik Mbak Ana.
Akupun mulai bisa menangkap kemana arah perkataan Mbak Ana.
“Kok bisa gitu Mbak, kan aku yang salah,” tanyaku memancing.
“Nggak Ndik.. aku yang salah,” katanya dengan tenang, “Karena aku teledor, tapi nggak pa-pa kok Ndik.”
Aku terkejut mendengar jawaban itu.

“Ndik, Mbak Ana nanya boleh nggak,” bisik Mbak Ana mesra.
Dengan senyum mengembang aku menjawab, “Kenapa tidak Mbak.”
Dengan ragu-ragu Mbak Ana melanjutkan kata-katanya, “Kamu udah punya
pacar Ndik..” suara itu pelan sekali lebih mirip dengan bisikan.
“Dulu sih udah Mbak tapi sekarang udah bubaran.” Kulihat ada perubahan di wajah Mbak Ana.
“Kenapa Ndik,” dan akupun mulai bercerita tentang hubunganku dengan
Maria teman SMP-ku dulu yang lari dengan laki-laki lain beberapa bulan
yang lalu, Mbak Ana pun mendengarkan dengan sesekali memotong ceritaku.

“Kalo Mbak Ana udah punya cowok belum,” tanyaku dengan berharap.
“Belum tuh Ndik, lagian siapa yang mau sama perawan tua seperti aku ini,” jawabnya dengan raut wajah yang diselimuti mendung.
“Kamu nggak cari pacar lagi Ndik,” sambung Mbak Ana.
Dengan mendengus pelan aku menjawab, “Aku takut kejadian itu terulang, takut kehilangan lagi.”
Dengan senyum yang manis dia mendekatiku dan membelai rambutku dengan
mesra, “Kasian kamu Andi..” lalu Mbak Ana mencium keningku dengan
lembut, aku merasa ada sepasang benda yang lembut dan hangat menempel di
punggungku. Sesaat kemudian perasaanku melayang entah kemana, ada
getaran asing yang belum pernah kurasakan selama ini.

Proudly powered by WordPress