Mbak Sus Oh Mbak Sus

Seperti sebagian besar teman senasib, saat menjadi mahasiswa saya
menjadi anak kos dengan segala suka dan dukanya. Mengenang masa-masa
sekitar lima belas tahun lalu itu saya sering tertawa geli. Misalnya,
karena jatah kiriman dari kampung terlambat, padahal perut keroncongan
tak bisa diajak kompromi, saya terpaksa mencuri nasi lengkap dengan
lauknya milik keluarga tempat saya kos. Masih banyak lagi kisah-kisah
konyol yang saya alami. Namun sebenarnya ada satu kisah yang saya simpan
rapat-rapat, karena bagi saya merupakan rahasia pribadi. Kisah rahasia
yang sangat menyenangkan.

Keluarga tempat kos saya memiliki anak tunggal perempuan yang sudah
menikah dan tinggal di rumah orang tuanya. Mbak Sus, demikian kami
anak-anak kos memanggil, berumur sekitar 35 tahun. Tidak begitu cantik
tetapi memiliki tubuh bagus dan bersih. Menurut ibu kos, anaknya itu
pernah melahirkan tetapi kemudian bayinya meninggal dunia. Jadi tak
mengherankan kalau bentuk badannya masih menggiurkan. Kami berlima
anak-anak kos yang tinggal di rumah bagian samping sering iseng-iseng
memperbincangkan Mbak Sus. Perempuan yang kalau di rumah tak pernah
memakai bra itu menjadi sasaran ngobrol miring.

“Kamu tahu nggak, kenapa Mbak Sus sampai sekarang nggak hamil-hamil?” tanya Robin yang kuliah di teknik sipil suatu saat.
“Aku tahu. Suaminya letoi. Nggak bisa ngacung” jawab Krus, anak teknik mesin dengan tangkas.
“Apanya yang nggak bisa ngacung?” tanya saya pura-pura tidak tahu.
“Bego! Ya penisnya dong”, kata Krus.
“Kok tahu kalau dia susah ngacung?” saya mengejar lagi.
“Lihat saja. Gayanya klemar-klemer kaya perempuan. Tahu nggak? Mbak Sus sering membentak-bentak suaminya?” tutur Krus.
“Kalian saja yang nggak tanggap. Dia sebenarnya kan mengundang salah
satu, dua, atau tiga di antara kita, mungkin malah semua, untuk
membantu”, kata Robin.
“Membantu? Apa maksudmu?” tanyaku tak paham ucapannya.
Robin tertawa sebelum berkata, “Ya membantu dia agar segera hamil. Dia
mengundang secara tidak langsung. Lihat saja, dia sering memamerkan
payudaranya kepada kita dengan mengenakan kaus ketat. Kemudian setiap
usai mandi dengan hanya melilitkan handuk di badannya lalu-lalang di
depan kita”
“Ah kamu saja yang GR. Mungkin Mbak Sus nggak bermaksud begitu”, sergah Heri yang sejak tadi diam.
“Nggak percaya ya? Ayo siapa yang berani masuk kamarnya saat suaminya dinas malam, aku jamin dia tak akan menolak. Pasti”

Diam-diam ucapan Robin itu mengganggu pikiranku. Benarkah apa yang dia
katakan tentang Mbak Sus? Benarkah perempuan itu sengaja mengundang
birahi kami agar ada yang masuk perangkapnya?

Selama setahun kos diam-diam aku memang suka menikmati pemandangan yang
tanpa tersadari sering membuat penisku tegak berdiri. Terutama
payudaranya yang seperti sengaja dipamerkan dengan lebih banyak berkaus
sehingga putingnya yang kehitam-hitaman tampak menonjol. Selain
payudaranya yang kuperkirakan berukuran 36, pinggulnya yang besar sering
membuatku terangsang. Ah betapa menyenangkan dan menggairahkan kalau
saja aku bisa memasukkan penisku ke selangkangannya sambil meremas-remas
payudaranya.

Setelah perbincangan iseng itu aku menjadi lebih memperhatikan
gerak-gerik Mbak Sus. Bahkan aku kini sengaja lebih sering mengobrol
dengan dia. Kulihat perempuan itu tenang-tenang saja meski mengetahui
aku sering mencuri pandang ke arah dadanya sambil menelan air liur.

Suatu waktu ketika berjalan berpapasan tanganku tanpa sengaja menyentuh pinggulnya.
“Wah.. maaf, Mbak. Nggak sengaja..” kataku sambil tersipu malu.
“Sengaja juga nggak apa-apa kok dik”, jawabnya sambil mengerlingkan matanya.
Dari situ aku mulai menyimpulkan apa yang dikatakan Robin mendekati
kebenaran. Mbak Sus memang berusaha memancing, mungkin tak puas dengan
kehidupan seksualnya bersama suaminya.

Makin lama aku bertambah berani. Beberapa kali aku sengaja menyenggol
pinggulnya. Eh dia cuma tersenyum-senyum. Aksi nakal pun kutingkatkan.
Bukan menyenggol lagi tetapi meremas. Sialan, reaksinya sama saja. Tak
salah kalau aku mulai berangan-angan suatu saat ingin menyetubuhi dia.
Peluang itu sebenarnya cukup banyak. Seminggu tiga kali suaminya dinas
malam. Dia sendiri telah memberikan tanda-tanda welcome. Cuma aku masih
takut. Siapa tahu dia punya kelainan, yakni suka memamerkan perangkat
tubuhnya yang indah tanpa ada niat lain. Namun birahiku rasanya tak
tertahankan lagi. Setiap malam yang ada dalam bayanganku adalah menyusup
diam-diam ke kamarnya, menciumi dan menjilati seluruh tubuhnya, meremas
payudara dan pinggulnya, kemudian melesakkan penis ke vaginanya.

Suatu hari ketika rumah sepi. Empat temanku masuk kuliah atau punya
kegiatan keluar, bapak dan ibu kosku menghadiri pesta pernikahan
kerabatnya di luar kota, sedangkan suami Mbak Sus ke kantor. Aku
mengobrol dengan dia di ruang tamu sambil menonton televisi. Semula
perbincangan hanya soal-soal umum dan biasa. Entah mendapat dorongan
dari mana kemudian aku mulai ngomong agak menyerempet-nyerempet.

“Saya sebenarnya sangat mengagumi Mbak Sus lo”, kataku.
“Kamu ini ada-ada saja. Memangnya aku ini bintang sinetron atau model.”
“Sungguh kok. Tahu nggak apa yang kukagumi pada Mbak?”
“Coba apa..”
“Itu..”
“Mana?”
Tanpa ragu-ragu lagi aku menyentuhkan telunjukku ke payudaranya yang seperti biasa hanya dibungkus kaus.
“Ah.. kamu ini.”

Reaksinya makin membuatku berani. Aku mendekat. Mencium pipinya dari
belakang kursi tempat duduknya. Mbak Sus diam. Lalu ganti kucium
lehernya yang putih. Dia menggelinjang kegelian, tetapi tak berusaha
menolak. Wah, kesempatan nih. Kini sambil menciumi lehernya tanganku
bergerilya di bagian dadanya. Dia berusaha menepis tanganku yang ngawur,
tetapi aku tak mau kalah. Remasanku terus kulanjutkan.

“Dik.. malu ah dilihat orang”, katanya pelan. Tepisannya melemah.
“Kalau begitu kita ke kamar?”
“Kamu ini nakal”, ujarnya tanpa berusaha lagi menghentikan serbuan tangan dan bibirku.
“Mbak..”
“Hmm..”
“Bolehkah mm.., bolehkah kalau saya..”
“Apa hh..”
“Bolehkah saya memegang susu Mbak yang gede itu?”
“Hmm..” Dia mendesah ketika kujilat telinganya.
Tanpa menunggu jawabannya tanganku segera menelusup ke balik kausnya.
Merasakan betapa empuknya daging yang membukit itu. Kuremas dua
payudaranya dari belakang dengan kedua tanganku. Desahannya makin kuat.
Lalu kepalanya disandarkan ke dadaku. Aduh mak, berarti dia oke.
Tanganku makin bersemangat. Kini kedua putingnya ganti kupermainkan.

“Dik, tutup pintunya dulu dong”, bisiknya dengan suara agak bergetar, mungkin menahan birahinya yang juga mulai naik.
Tanpa disuruh dua kali secepat kilat aku segera menutup pintu depan.
Tentu agar keadaan aman dan terkendali. Setelah itu aku kembali ke Mbak
Sus. Kini aku jongkok di depannya. Menyibak rok bawahnya dan
merenggangkan kedua kakinya. Wuih, betapa mulus kedua pahanya.
Pangkalnya tampak menggunduk dibungkus celana dalam warna krem. Sambil
menciumi pahanya tanganku menelusup di pangkal pahanya, meremas-remas
vagina dan klitorisnya yang juga besar. Lidahku makin naik ke atas. Mbak
Sus menggelinjang kegelian sambil mendesah halus. Akhirnya jilatanku
sampai di pangkal pahanya.

“Mau apa kau sshh.. sshh”, tanyanya lirih sambil memegangi kapalaku erat-erat.
“Mbak belum pernah dioral ya?”
“Apa itu?”
“Vagina Mbak akan kujilati.”
“Lo itu kan tempat kotor..”
“Siapa bilang?”
“Ooo.. oh.. oh ..”, desis Mbak Sus keenakan ketika lidahku mulai
bermain-main di gundukan vaginanya. Tampak dia keenakan meski masih
dibatasi celana dalam.

Serangan pun kutingkatkan. Celananya kepelorotkan. Sekarang perangkat
rahasia miliknya berada di depan mataku. Kemerahan dengan klitoris yang
besar sesuai dengan dugaanku. Di sekelilingnya ditumbuhi rambut tak
begitu lebat. Lidahku kemudian bermain di bibir vaginanya. Pelan-pelan
mulai masuk ke dalam dengan gerakan-gerakan melingkar yang membuat Mbak
Sus kian keenakan, sampai harus mengangkat-angkat pinggulnya.
“Aahh.. Kau pintar sekali. Belajar dari mana hh..”
“mm film biru dan bacaan porno kan banyak mm..” jawabku.

Tiba-tiba, tok.. tok.. tok. Pintu depan ada yang mengetuk. Wah berabe nih. Aksi liarku pun terhenti mendadak.
“Sst ada tamu Mbak”, bisikku.
“Cepat kau sembunyi ke dalam”, kata Mbak Sus sambil membenahi pakaiannya yang agak berantakan.
Aku segera masuk ke dalam kamar Mbak Sus. Untung kaca jendela depan yang
lebar-lebar rayban semua, sehingga dari luar tak melihat ke dalam.
Sampai di kamar berbau harum itu aku duduk di tepi ranjang. Penisku
tegak mendesak celana pendekku yang kukenakan. Sialan, baru asyik ada
yang mengganggu. Kudengar suara pintu dibuka. Mbak Sus bicara beberapa
patah kata dengan seorang tamu bersuara laki-laki. Tidak sampai dua
menit Mbak Sus menyusul masuk kamar setelah menutup pintu depan.

“Siapa Mbak?”
“Tukang koran menagih rekening.”
“Wah mengganggu saja itu orang. Baru nikmat-nikmat..”
“Sudahlah”, katanya sambil mendekati aku.
Tanpa sungkan-sungkan Mbak Sus mencium bibirku. Lalu tangannya menyentuh
celanaku yang menonjol akibat penisku yang ereksi maksimal,
meremas-remasnya beberapa saat. Betapa lembut ciumannya, meski masih
polos. Aku segera menjulurkan lidahku, memainkan di rongga mulutnya.
Lidahnya kubelit sampai dia seperti hendak tersedak. Semula Mbak Sus
seperti akan memberontak dan melepaskan diri, tapi tak kubiarkan.
Mulutku seperti melekat di mulutnya.

Lama-lama dia akhirnya dia bisa menikmati dan mulai menirukan gaya permainan ciuman yang secara tak sadar baru saja kuajarkan.
“Uh kamu pengalaman sekali ya. Sama siapa? Pacarmu?” tanyanya di antara kecipak ciuman yang membara dan mulai liar.
Aku tak menjawab. Tanganku mulai mempermainkan kedua payudaranya yang
tampak menggairahkan itu. Biar tak merepotkan, kausnya kulepas. Kini dia
telanjang dada. Tak puas, segera kupelorotkan rok bawahnya. Nah kini
dia telanjang bulat. Betapa bagus tubuhnya. Padat, kencang, dan putih
mulus.

“Nggak adil. Kamu juga harus telanjang.” Mbak Sus pun melucuti kaus,
celana pendek, dan terakhir celana dalamku. Penisku yang tegak penuh
segera diremas-remasnya. Tanpa dikomando kami rebah ke ranjang,
berguling-guling, saling menindih.
“Mbak mau saya oral lagi?” tanyaku.
Mbak Sus hanya tersenyum. Aku menunduk ke selangkangannya mencari-cari
pangkal kenikmatan miliknya. Tanpa ampun lagi mulut dan lidahku
menyerang daerah itu dengan liar. Mbak Sus mulai mengeluarkan
jeritan-jeritan tertahan menahan nikmat. Kelihatan dia menemukan
pengalaman baru yang membius gairahnya. Hampir lima menit kami menikmati
permainan itu. Selanjutnya aku merangkak naik. Menyorongkan penisku ke
mulutnya.
“Gantian dong, Mbak”
“Apa muat segede itu..”
Tanpa menunggu jawabannya segera kumasukkan penisku ke mulutnya yang
mungil. Semula agak kesulitan, tetapi lama-lama dia bisa menyesuaikan
diri sehingga tak lama penisku masuk rongga mulutnya. Melihat Mbak Sus
agak tersiksa oleh gaya permainan baru itu, aku pun segera mencabut
penisku. Pikirku, nanti lama-lama pasti bisa.

“Sorry ya Mbak”
“Ah kau ini mainnya aneh-aneh.”
“Justru di situ nikmatnya, Mbak. Selama ini Mbak sama suami main seksnya gimana?” tanyaku sambil menciumi payudaranya.
“Ah malu. Kami main konvensional saja kok.”
“Langsung tusuk begitu maksudnya..”
“Nakal kau ini”, katanya sambil tangannya mengelus-elus penisku yang masih tetap tegak berdiri.
“Suami Mbak mainnya lama nggak?”
“Ah..” dia tersipu-sipu. Mungkin malu untuk mengungkapkan.
“Pasti Mbak tak pernah puas ya?”
Mbak Sus tak menjawab. Dia malah menciumi bibirku dengan penuh gairah.
Tanganku pun ganti-berganti memainkan kedua payudaranya yang kenyal atau
selangkangannya yang mulai berair. Aku tahu, perempuan itu sudah
kepengin disetubuhi. Namun aku sengaja membiarkan dia menjadi penasaran
sendiri.

Tetapi lama-lama aku tak tahan juga. Penisku pun sudah ingin segera
menggenjot vaginanya. Pelan-pelan aku mengarahkan barangku yang kaku dan
keras itu ke arah selangkangannya. Ketika mulai menembus vaginanya,
kurasakan tubuh Mbak Sus agak gemetar.
“Ohh..” desahnya ketika sedikit demi sedikit batang penisku masuk vaginanya.
Setelah seluruh barangku masuk, aku segera bergoyang naik turun di atas
tubuhnya. Aku makin terangsang oleh jeritan-jeritan kecil, lenguhan, dan
kedua payudaranya yang ikut bergoyang-goyang.

Tiga menit setelah kugenjot Mbak Sus menjepitkan kedua kakinya ke
pinggangku. Pinggulnya dinaikkan. Tampaknya dia akan orgasme. Genjotan
penisku kutingkatkan.
“Ooo.. ahh.. hmm.. sshh..” desahnya dengan tubuh menggelinjang menahan kenikmatan puncak yang diperolehnya.
Kubiarkan dia menikmati orgasmenya beberapa saat. Kuciumi pipi, dahi, dan seluruh wajahnya yang berkeringat.
“Enak Mbak?” tanyaku.
“Emmhh..”
“Puas Mbak?”
“Ahh..” desahnya.
“Sekarang Mbak berbalik. Menungging.”
Aku mengatur badannya dan Mbak Sus menurut. Dia kini bertumpu pada siku dan kakinya.
“Gaya apa lagi ini?” tanyanya.
“Ini gaya anjing. Senggama lewat belakang. Pasti Mbak belum pernah.”

Setelah siap aku pun mulai menggenjot dan menggoyang dari belakang. Mbak
Sus kembali menjerit dan mendesah merasakan kenikmatan tiada tara yang
mungkin selama ini belum pernah dia dapatkan dari suaminya. Setelah dia
orgasme sampai dua kali, kami istirahat.
“Capek?” tanyaku.
“Kamu ini aneh-aneh saja. Sampai mau remuk tulang-tulangku.”
“Tapi kan nikmat Mbak”, jawabku sambil kembali meremas payudaranya yang menggemaskan.
“Kita lanjutkan nanti malam saja ya.”
“Ya deh kalau capek. Tapi tolong sekali lagi, aku pengin masuk agar
spermaku keluar. Nih sudah nggak tahan lagi penisku. Sekarang Mbak yang
di atas”, kataku sambil mengatur posisinya.

Aku terletang dan dia menduduki pinggangku. Tangannya kubimbing agar
memegang penisku masuk ke selangkangannya. Setelah masuk tubuhnya
kunaikturunkan seirama genjotanku dari bawah. Mbak Sus tersentak-sentak
mengikuti irama goyanganku yang makin lama kian cepat. Payudaranya yang
ikut bergoyang-goyang menambah gairah nafsuku. Apalagi ditingkah
lenguhan dan jeritannya menjelang sampai puncak. Ketika dia mencapai
orgasme aku belum apa-apa. Posisinya segera kuubah ke gaya konvensional.
Mbak Sus kurebahkan dan aku menembaknya dari atas. Mendekati klimaks
aku meningkatkan frekuensi dan kecepatan genjotan penisku.
“Oh Mbak.. aku mau keluar nih ahh..”
Tak lama kemudian spermaku muncrat di dalam vaginanya. Mbak Sus kemudian
menyusul mencapai klimaks. Kami berpelukan erat. Kurasakan vaginanya
begitu hangat menjepit penisku. Lima menit lebih kami dalam posisi
relaksasi seperti itu.

“Vaginamu masik nikmat Mbak”, bisikku sambil mencium bibir mungilnya.
“Penismu juga nikmat, Dik.”
“Nanti kita main dengan macam-macam gaya lagi.”
“Ah Mbak memang kalah pintar dibanding kamu.”
Kami berpelukan, berciuman, dan saling meremas lagi. Seperti tak
puas-puas merasakan kenikmatan beruntun yang baru saja kami rasakan.

“Mbak kalau pengin bilang aja ya.”
“Kamu juga. Kalau ingin ya langsung masuk ke kamar Mbak. Tetapi sst.. kalau pas aman lo.”
“Mbak mau nggak main ramai-ramai?”
“Maksudmu gimana?”
“Ya misalnya aku mengajak salah satu teman dan kita main bertiga. Dua
lawan satu. Soalnya Mbak tak cukup kalau cuma dilayani satu cowok.”
“Ah kamu ini ada-ada saja. Malu ah..”
“Tapi mau mencoba kan?”
Mbak Sus tidak menjawab. Dia malah kemudian menciumi dan menggumuli aku
habis-habisan. Ya aku terangsang lagi jadinya. Ya penisku tegak lagi. Ya
akhirnya aku mesti menggenjot dan menembaknya sampai dia orgasme
beberapa kali. Ah Mbak Sus, Mbak Sus.

TAMAT

Proudly powered by WordPress