The Amazing Mbak Ana

Namaku Richard Tilamaya, biasa dipanggil Richie. Umurku 28 tahun. Aku
bekerja dibidang pemerintahan dan sekarang ditugaskan di Pulau Sumatera,
tepatnya di kota P. Aku memiliki seorang istri, kami sudah menikah
selama tiga tahun namun hingga saat ini belum diberi momongan. Di kota P
aku tinggal di rumah mertua, kebetulan dulu mertuaku bekerja juga di
Kota P sehingga memiliki rumah di sini. Mertuaku sekarang sudah pensiun
dan mereka memutuskan untuk kembali ke kampung halaman di Pulau Jawa,
menetap di sana menikmati masa tua. Karena sayang untuk dijual dan
kebetulan aku bertugas di kota ini, maka mereka menyuruh aku dan istri
untuk menjaga dan tinggal di rumahnya. Kamipun setuju itung-itung
menghemat biaya kontrak rumah hehehee.
Di rumah aku memiliki seorang pembantu, namanya Mbak Ana. Mbak Ana
berumur sekitar 36 tahun dan memiliki tiga orang anak perempuan. Mbak
Ana asli dari kota P. Secara fisik tidak ada yang spesial dengan Mbak
Ana, rambut pendek sebahu dan badan yang agak kurus. Kulitnya tidak
putih namun cukup terang. Mukanya terlihat seperti orang yang kelelahan
terlihat lesu, sayu , garis-garis keriput mulai nampak. Namun, sebagai
seorang pembantu Mbak Ana masih masuk kategori yang cukup enak
dipandang, not bad lah. Mbak Ana tidak menginap di rumahku, dia datang
pagi dan pulang setelah pekerjaan rumah selesai. Mbak Ana bekerja di
rumahku dari hari Senin sampai Sabtu. Rumahnya berjarak kurang lebih 500
meter dari rumahku, dia biasanya datang ke rumahku dengan berjalan
kaki. Mbak Ana tinggal bersama anak-anaknya, sedangkan suaminya bekerja
di luar kota. Suaminya pulang sebulan sekali atau terkadang Mbak Ana
yang datang ke kota suaminya bekerja. Penghasilan suami Mbak Ana bisa
dibilang pas-pasan karenanya untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga
Mbak Ana mencari penghasilan tambahan. Sebenarnya aku dan istriku belum
terlalu membutuhkan pembantu karena kami masih tinggal berdua selain itu
juga istriku tidak bekerja jadi tidak ada masalah dengan pekerjaan
rumah, namun karena Mbak Ana sudah lama ikut dengan mertuaku kami jadi
tidak enak untuk memberhentikannya.
Aku jarang ngobrol dengan Mbak Ana, karena kami juga jarang bertemu.
Kami biasanya hanya bertemu pada hari sabtu atau jika aku sedang sedang
libur. Jika bertemu kami hanya saling bertegur sapa saja dan sangat
jarang sekali mengobrol. Selama ini Mbak Ana tidak pernah menyita
perhatianku dan aku juga tidak pernah berpikir macam-macam dengan Mbak
Ana. Namun ternyata hal tak terduga aku alami bersama Mbak Ana.

Pagi hari aku sedang bersiap-siap untuk berangkat kantor, ketika
tiba-tiba kakak iparku menelpon mengabarkan ibu mertuaku masuk rumah
sakit. Ibu mertuaku memang sudah lama sakit dan beberapa kali masuk
rumah sakit, namun kali ini harus dilakukan tindakan operasi. Aku
meyuruh istriku segera mencari tiket untuk pulang ke jawa untuk
menjenguk dan memberi suport ibu yang akan melakukan opersi. Karena aku
masih banyak pekerjaan kantor yang harus diselesaikan, maka tidak
mungkin untuk ikut pulang bersama istriku.

Siangnya aku pulang ke rumah untuk mengantar istriku ke bandara. Waktu
itu Mbak Ana masih di rumahku, istriku sedang berpesan ini-itu, urusan
rumah spertinya. Setelah selesai berpesan kepada Mbak Ana, istriku
menitipkan kunci rumah cadangan ke Mbak Ana sehingga jika aku sedang
bekerja dia tetap dapat bersih-bersih rumah dan menyelesaikan pekerjaan
lainnya.

Hari ini Sabtu, aku terbangun oleh suara alarm hp-ku. Jam 08:00. Aku
sengaja mengeset alarmku supaya tidak bangun kesiangan karena aku ada
janji dengan teman kantorku untuk menyelesaiakan laporan kami. Mataku
masih berat untuk dibuka, aku matikan alarmku namun aku masih
bermalas-malasan di tempat tidur. Baru jam 03.00 pagi tadi aku tidur
karena semalam harus lembur, hari ini juga aku seharusnya libur namun
terpaksa aku harus ke kantor untuk menyelesaikan laporan karena deadline
sudah dekat. Aku masih mencoba mengumpulkan tenaga untuk beranjak dari
kasur ketika terdengar ketukan pintu. Siapa pikirku?
“Mas..Mas Richie?”
Aku mendengan suara yang aku kenal, Mbak Ana. Ahhg aku masih malas untuk
bangkit. Mbak Ana kembali mengetuk dan memanggil namaku. Biarkan saja
pikirku, toh dia bawa kunci cadangan juga. Benar saja setelah beberapa
kali mengetuk dan memanggil tanpa ada balasan, terdengar suara kunci
pintu dibuka. Mungkin Mbak Ana berpikir aku sedang pergi. Terdengar
pintu terbuka.

“Mas Richie?” Mbak Ana masih mencoba memangilku, memastikan aku ada di rumah atau tidak.
Seketika itu juga aku sadar aku tidak menutup pintu kamarku. Aku tidak
menutupnya karena semalam listrik padam, AC kamarku mati. Karena gerah,
kuputuskan untuk tidur dengan pintu kamar terbuka agar ada sedikit udara
segar. Pintu kamarku menghadap ke ruang tengah. Mbak Ana pasti akan
melalui kamarku untuk menuju ke dapur dan tempat cuci baju. Tiba-tiba
timbul niat isengku. Biar saja Mbak Ana melihatku dalam posisi tidur.
Aku biasa tidur hanya mengenakan kaos dan boxer. Aku suka mengenakan
boxer kalo di rumah karena si Junior rasanya jadi lebih lega dan kalo
tiba-tiba “pengen” tinggal plorotin aja hehehe. Nahh yang bikin aku jadi
tambah iseng karena kalo pagi bangun tidur si Junior suka berdiri. Aku
keluarkan penisku yang setengah berdiri dengan mengangkat sedikit bagian
bawah boxerku sehingga seolah-olah penisku keluar dengan sendirinya
ketika aku tidur. Aku penasaran ingin melihat ekspresi Mbak Ana ketika
melihatku dalam posisi seperti ini. Kenapa aku jadi exebisionis ya
hehehe. Hmmm.. muncul ideku untuk merekam ekspresi Mbak Ana agar aku
bisa melihatnya nanti. Dengan cepat aku menyalakan kamera video di
hape-ku, aku arahkan ke pintu, dan aku sangga dengan bantal. Mbak Ana
tidak akan tahu kalo kamera hape itu menyala, dia pasti akan berpikir
hape-nya tergletak biasa saja. Aku lalu kembali ke posisi dan pura-pura
masih tidur. Terdengar suara langkah Mbak Ana mendekat dan tiba-tiba
berhenti ketika sampai di depan kamarku. Aku tertawa geli dalam tidurku,
pura-pura tidur tepatnya hehehee. Sepertinya Mbak Ana kaget melihat aku
ada di rumah dan tertidur dengan si Junior mengintip keluar dari boxer
ku. Beberapa saat Mbak Ana berhenti kemudian dengan hati-hati dia
menjulurkan kepalanya ke dalam kamarku. Dia melihatku masih tidur,
sekilas dia melirik penisku dan beranjak pergi.
Setelah Mbak Ana pergi aku tertawa pelan, aku sudah menahan tawa dari
tadi. Dari bagian belakang rumah terengar Mbak Ana mulai beraktivitas,
sepertinya sedang mencuci baju karena terdengar suara berisik mesin
cuci. Aku ambil hapeku dan aku putar rekaman video tadi. Sambil menahan
tawa aku melihat video itu. Dalam rekaman video terlihat ketika Mbak Ana
sampai di depan kamarku dan langsung kaget melihatku. Sepertinya dia
juga menyadari kalo penisku terlihat, dan matanya cukup lama melihat ke
arah situ heheehe. Aku memang hanya iseng dan tidak ada niat untuk
bertindah lebih jauh.
Aku bangun dan segera menuju kamar mandi, aku masih tetap memakai boxer
tapi tentunya si Junior sudah kembai ke sarangnya. Aku pura-pura kaget
ketika melihat Mbak Ana.
“Eh.. Mbak Ana, sudah dari tadi mbak?”
“Baa..baru saja kok mas.” Mbak Ana terlihar agak gugup, mungkin karena kejadian barusan.
“ohh..maaf mbak aku gak denger Mbak Ana tadi datang.” Aku bicara dengan nada santai supaya Mbak Ana tidak gugup.
“Iya Mas Richie, Mbak tadi ketuk pintu enggak ada yang bukain. Mbak kira
di rumah gak ada orang. Ehh.. ternyata Mas Richie masih tidur.” Mbak
Ana sudah bisa mengendalikan dirinya.
“Iya mbak aku gak denger.” Aku beralasan. “Baru tidur tadi pagi. Semalam habis lembur.”
“Ouww.”
“Mbak aku tolong dibikinin mie ya buat sarapan, dah lapar nih.”
“iyaa mas tapi bentar lagi ya, tanggung ini mas nyucinya dah mau selesai.”
“Okai mbak aku juga mau mandi dulu.” Aku berlalu menuju kamar mandi.
Selesai mandi mieku sudah siap. Aku sarapan sambil duduk di depan TV,
kunyalakan TV dan mulai menyantap mieku selagi masih hangat. Mbak Ana
sedang menyetrika. Tempatnya menyetrika tidak jauh dari tempat aku
duduk. Aku mencoba untuk mengajaknya mengobrol sambil sarapan.
“Anaknya yang gedhe sekarang di mana mbak? Masih sekolah? Atau sudah
lulus?” aku membuka obrolan. Aku tau dari istriku kalo anak pertamannya
dulu sekolah di akademi kebidanan, aku lupa nama anaknya.
“oh si Rina ya mas, sekarang sudah kerja mas. Baru lulus dua bulan yang
lalu tapi alhamdulillah langsung dapat kerjaan,” jawabnya agak kaku
karena tidak terbiasa mengobrol denganku.
“Kerja di mana mbak?”
“Di Rumah Sakit Merah Putih di Kota PP.” Rupanya si Rina kerja di luar kota.
Obrolan mulai berkembang dan suasana menjadi cair. Mbak Ana mulai nyaman
ngobrol dengan ku. Dia bercerita kalo dia senang anaknya langsung
mendapat kerja sehingga tidak bergantung dengan orang tua lagi. Mbak Ana
juga bercerita kalo sekarang usaha tempat suaminya bekerja sedang tidak
bagus sehingga sudah empat bulan ini suaminya belum bisa pulang karena
belum ada ongkos. Mbak Ana juga tidak bias datang ke sana karena uang
yang diperolehnya sudah habis digunakan untuk biaya sekolah anaknya.
Anaknya yang nomor dua baru saja masuk SMA. Aku agak simpati juga
mendengar cerita Mbak Ana. Aku menyuruhnya bersabar dan menasehatinya
untuk tetap semangat bekerja.
“Kalo sudah rejekinya pasti gak akan ke mana mbak.” nasehat ku. “Yang
penting kita berusaha. Rejeki pasti tiba dengan sendirinya.”
Dari obrolan kami aku jadi tahu ternyata selain bekerja di tempatku kalo
malam Mbak Ana juga bekerja menjaga warung makan. Selama kami mengobrol
aku mendapati Mbak Ana beberapa kali melirik si Junior. Aku cuek saja.
Sehabis mandi tadi aku masih menggunakan boxer dan kaos saja. Seperti
aku bilang kalo sedang di rumah aku memang biasa seperti ini.
Sebelum-sebelumnya Mbak Ana juga sudah biasa melihatku mengenakan boxer
kalo sedang di rumah jadi aku cuek saja. Karena mulai merasa biasa
denganku Mbak Ana mulai berani menanyakan hal yang agak privat.
“Mas..Mas Richie dan Mbak Anja memang nunda punya momongan ya?” “Eh maaf
ya mas..Mbak nanya-nanya..” Mbak Ana sadar kalo pertanyaannya mungkin
agak sensitif, dia jadi salah tingkah dan terlihat agak menyesal telah
bertanya.
“Gak papa kok mbak.” jawabku tersenyum. “Aku sebernya pengen mbak segera
punya momongan, apalagi Anja dia kan seneng banget sama anak kecil”
tambahku, “Tapi sepertinya masih belum dikasih.”
“Sabar ya mas. Nanti juga pasti dapat kok kalo memang sudah rejekinya”
Mbak Ana mencoba menghiburku dengan nada keibuan, seperti seorang ibu
yang menghibur anaknya yang kalah dalam lomba. Aku menjadi sedikit
terharu, terharu dengan diriku sendiri.
“Mbak dulu juga lama kosong kok. Hampir tiga tahun.”
“Iyaa ya mbak?” aku baru tahu kalo Mbak Ana ternyata juga lama dapat momongan.
“Mas Richie sudah coba cek ke dokter?” tanya Mbak Ana.
“Sudah sih mbak, tapi kata dokter gak ada masalah baik sama Anja maupun
sama aku. Semuanya sehat. Kata dokter sih dicoba terus aja” jawabku
“Mungkin bikinnya yang gak bener kali ya mbak heheheehe.” aku bercanda
tanpa maskud menggoda.
Mbak Ana tersenyum kecil kemudian menjawab dengan nada serius “Sama mas
Richie..dulu mbak juga cek ke dokter dan kata dokter suami mbak dan mbak
sehat semuanya.”
“Ohhh” jawabku singkat.
Aku melahap suapan terakhir mie ku, Mbak Ana terlihat fokus kembali menyetrika. Kami terdiam sejenak.
“Terus akhirnya bisa dapat Rina gimana mbak?” aku memecah keheningan
“Kata temenku sih aku disuruh banyak-banyak makan toge, emang bener ya?”
“Kalo toge sih emang bagus buat laki-laki mas,” kata Mbak Ana sambil
melipat kemeja yang baru selesai disetrika “Katanya dapat meningkatkan
kualitas itunya.”
“Itunya?” aku memasang muka heran, aku menangkap maksud Mbak Ana adalah
bahwa toge dapat meningkatkan kualitas ereksi atau ketahanan penis.
“Bukan anunya mas?” Mbak Ana terkikik, “eee..itu kualitas..ee sperma.” sepertinya Mbak Ana agak risih mengucapkan kata sperma.
“Ouww. Kirain hehee..perasaan aku dah banyak makan toge tapi gak ada
perubahan kualitas di situ hehehee” Mbak Ana ketawa mendengar
komentarku.
“Jadi dulu suami mbak banyak makan toge juga ya?” tanyaku.
“Ya gak banyak juga sih mas biasa aja, kalo mbak kebetulan pas masak
sayur toge aja.” Mbak Ana kemudian menambahkan, “Mbak dulu ke tukang
urut mas.”
“Tukang urut?” aku bingung.
“Iya kebetulan nenek mbak dulu tukang urut.” Jelas Mbak Ana sambil
mengusap keringat dikeningnya, sepertinya hawa panas strika membuat Mbak
Ana gerah.
“Waktu itu nenek bilang supaya bisa cepet dapat momongan suami mbak
harus diurut karena menurut nenek ada syaraf suami mbak yang bekerja
kurang maksimal.”
Waktu itu aku masih berpikir kalo ‘diurut’ yang diceritakan Mbak Ana sepeti diurut pada umunya.
“Mbak sih awalnya gak ngerti tapi karena gak ada ruginya ya kenapa gak
dicoba aja. Apalagi yang nyuruh orang tua kalo gak mau malah takut
kualat nanti.”
Aku menyimak cerita mbak ana dengan serius.
“Jadi ya sudah mbak sama suami berangkat ke rumah nenek di dusun.
Kemudian suami mbak diurut, nenek juga mengajari mbak cara ngurutnya.
Kata nenek supaya berhasil gak bisa hanya diurut sekali jadi nenek
mengajari mbak cara ngurutnya supaya mbak bisa ngurut sendiri nantinya
sehingga gak perlu bolak-balik ke rumah nenek yang cukup jauh.”
“Percaya gak percaya sih Mas Richie. Dua minggu setelah itu mbak
langsung isi.” Mbak Ana mengakhiri ceritanya sambil melipat pakai
terakhir yang disetrikanya.
Dia menghela nafas lega, setrikaanya sudah selesai semua. Mbak Ana
mengusap butir-butir keringat diwajahnya dengan bagian bawah kaosnya.
Otomatis kaosnya sedikit terangkat dan terlihat perut Mbak Ana yang
putih, perut Mbak Ana ramping namun terlihat kendor. Maklum Mbak Ana kan
bukan tante-tante berduit yang rajin fitnes. Mbak Ana waktu itu memakai
kaos warna krem yang agak kedodoran dan sudah kusam. Di bagian bawah
dia menggunakan legging sebatas lutut warna biru gelap. Meskipun legging
jangan bayangkan seperti legging-lengging yang dipakai ABG sehingga
terlihat ketat dan sexy. Legging yang dipakai Mbak Ana sepertinya sudah
sering dipakai sehingga agak melar. Mbak Anak dalam berpakaian memang
seadanya, kaos, legging, celana pendek kolor terkadang dia juga memakai
daster dan semua pakaiannya sudah kusam bahkan ada beberapa yang
terdapat bagian yang sobek atau bolong. Aku rasa di dunia ini tidak ada
wanita yang tidak ingin tampil cantik dan menarik, begitu juga Mbak Ana.
Namun keadaan yang memaksanya.
Mbak Ana berjalan ke dapur dan mengambil segelas air minum. Setelah
minum dia kembali mengusap keringat di dahi dengan punggung tangannya.
Mbak Ana menyisir rambutnya kebelakang dengan jari mengumpulkannya
menjadi satu dan mengikatnya dengan karet gelang. Dia berjalan menuju
mesin cuci dan mulai mengeluarkan baju yang telah selesai dicuci untuk
dijemur. Aku melihat jam dinding, jam 09.00. Sebentar lagi berangkat ke
kantor pikirku. Aku berjalan kebelakang untuk menaruh piring kotor
ditempat cucian. Tempat cuci piring ada di luar rumah bersebelahan
dengan tempat Mbak Ana mejemur. Aku perhatikan Mbak Ana agak kesulitan
menjemur selimut, aku datang mendekat membantu Mbak Ana menaruh selimut
di tali jemuran. Angin berhembus dan aku mencium aroma yang aneh, bukan,
bukan, bukan aroma yang tidak enak tetapi aroma yang khas. Ini bau
tubuh Mbak Ana dugaku. AKu seperti sedang terhipnotis, aroma itu masuk
melalui hidungku dan langsung membekukan otaku. Aku merasakan sensai
yang aneh.
“Makasih Mas.” Mbak Ana menyadarkanku.
“Ah..iyaa.” Gantian aku yang gugup.
Mbak Ana melanjutkan menjemur sisanya. Aku berdiri bersandar didinding tempat ujung tali jemuran ditambatkan.
“Mbak aku kayaknya tertarik juga urut sama neneknya Mbak Ana, siapa tau
berhasil juga.” Aku melanjutkan obrolan kami tadi. Aku menunjukkan
keantusiasanku.
Mbak Ana menjemur celana jeansku dan kembali mengusap keringat di dahinya, sepertinya dia mulai kelelahan.
“Masalahnya mas,” dia kembali mengambil sisa pakaian yang akan dijemur, “nenek mbak dah meninggal satu tahun yang lalu.”
“ahh..maaf mbak.” aku tidak menduga jawaban Mbak Ana. “Sakit mbak?”
“Yaa memang sakit..tapi juga karena memang sudah umur”
Angin kembali berhembus dan lagi-lagi bau aroma tubuh Mbak Ana mengalir melalui hidungku. Aku kembali blank.
“Kalo nenek masih sehat mungkin aku bisa berhasil juga kali ya mbak?”
aku berbicara dengan pandangan kosong. Sebelum Mbak Ana sempat menimpali
aku menyadari sesuatu, “ehh..bukannya Mbak Ana pernah diajari cara
ngurutnya juga ya?”
Mbak Ana tiba-tiba berhenti bergerak, dia kaget dengan pertanyaanku.
“ee..em..embak gak bisa.” Mbak Ana gugup.
“Loh tadi kan mbak cerita, mbak diajari cara ngurutnya supaya mbak bisa
ngurut sendiri tanpa harus ke rumah nenek? Suami mbak kan cuma diurut
sekali sama nenek, iya kan? Selebihnya Mbak Ana yang ngurut kan? Iya kan
mbak?” aku membrondong mbak ana karena merasa ada harapan.
“Bukan gitu mas Richie.” Mbak Ana menjawab sambil berjalan masuk rumah. Keringatnya sepertinya semakin menjadi.
Kenapa Mbak Ana panik pikirku? Aku berjalan masuk rumah mengikuti Mbak Ana. Mbak Ana menuju ruang tengah, dan duduk di depan tv.
“Jadi gimana mbak? masa Mbak Ana gak mau nolongin aku?” Aku memohon.
Mbak Ana mengambil sapu sepertinya dia hendak menyapu tapi kemudian dia
menghela nafas dan kemudian menarik kursi makan dan duduk memandangku
dengan serius. Mbak Ana menarik nafas kemudian mulai berbicara.
“Mbak Ana bukannya gak mau menolong Mas Richie tapi mbak gak bisa.” Aku
bingung, Mbak Ana kembali menarik nafas dan melanjutkan. “Soalnya..”
“Eee..maksud mbak cara ngurut itu..Ehh..pokoknya mbak gak bisa ngurut Mas Richie.”
Aku memandang Mbak Ana, semakin bingung. Mbak Ana menarik nafas panjang seperti sedang mengumpulkan kekuatan.
“Mas..Mbak gak bisa membantu Mas Richie karena yang harus diurut itu ada
di..syaraf yang harus diurut itu ada di..” Mbak Ana memelankan
suaranya, mukanya memerah. “burungnya.”
Caaassss. Tubuhku seperti diguyur air es. Akhirnya aku paham kebingungan
Mbak Ana. Aku mendadak jadi malu memaksa Mbak Ana untuk mengurutku. Aku
melihat Mbak Ana dia menunduk memainkan gagang sapu, mukanya merah
padam. Perlahan dia mulai mengakat kepalanya memandangku. Mbak Ana
tersenyum, senyum yang terlihat grogi dan kikuk.
“Maaf mbak aku kirain urut badan kayak biasa gitu.” Aku menimpali sambil nyengir.
Kami berdua melihat tv tapi sama sekali tidak tahu apa yang kami tonton,
pikiran kami melayang entah ke mana. Kami berdua jadi salah tingkah.
“yahh mungkin memang belum waktunya mbak, nanti juga pasti dapat kalo sudah waktunya kan?” ujarku sambil tersenyum getir.
Mata kami berdua masih melihat tv. Aku bangkit dari tempat duduk, “Aku
siap-siap dulu ya mbak mau ke kantor ada janji sama temen.” Aku menuju
kamarku ganti baju.
Aku baru selesai mengganti kaos yang aku kenakan dengan polo shirt
ketika tiba-tiba Mbak Ana sudah di depan pintu kamarku yang tidak
tertutup.
“Mas Richie..” mukanya menunjukkan raut merasa bersalah.
Aku jadi serba salah, sebenernya aku sudah memahami kondisinya dan maklum.
“Mas Richie…memangnya Mas Richie mau kalo mbak urut?” Duaarr aku jadi
bingung sendiri. Aku jadi gak enak sama Mbak Ana, karena dari awal aku
sudah salah memahami maksud ‘diurut’ yang diceritakan Mbak Ana.
“Mbak..” aku duduk di tepi tempat tidurku, “Mbak Ana gak usah merasa
bersalah gitu, aku gak papa kok mbak, tadi cuma salah paham.”
“Kalo aku tau maksud diurut yang mbak ceritain itu seperti itu aku gak mungkin minta tolong Mbak Ana kan?” aku melannjutkan.
Mbak Ana menunduk, jarinya memainkan ujung kaosnya. “Mbak bukannya gak
mau nolong Mas..apalagi Mbak Anja sama Mas Richie sudah baik dan banyak
membantu mbak,” Memang istriku suka memberi makanan dan uang tambahan
untuk Mbak Ana. “Cuma mbak ngerasa gak pantes aja kalo harus ngurut Mas
Richie.”
Nahhh. Aku paling gak bisa kalo wanita sudah merasa rendah seperti ini.
“Bukan gitu mbak…aku mau aja kok cuma kan..” Aku terdiam berpikir. Aku
bukannya gak mau cuma aku gak membayangkan bakal ‘diurut’ Mbak Ana dan
aku berpikir Mbak Ana juga pasti gak bakal mau. Aku jadi bingung.
“Gini aja Mbak Ana, aku sekarang ada janjian sama temen, ada kerjaan
kantor. Kalo mbak emang mau gimana kalo nanti malam Mbak Ana ke rumah
lagi buat ngurut aku?” jujur aja sejauh ini aku belum berpikir
macam-macam. Aku setuju untuk diurut hanya karena gak tega melihat Mbak
Ana. Mbak Ana mengangkat kepalanya melihatku, mukanya agak cerah, “Mas
Richie yakin?”
“yuupp!” aku menjawab yakin.
“Baik mas ntar mbak coba urut, semoga berhasil juga, supaya Mas Richie
dan Mbak Anja cepet punya momongan.” Mbak Ana tersenyum ringan namun
jauh di dalam matanya aku masih melihat keraguan. Aku tahu Mbak Ana
pasti sama bimbangnya denganku.

Jam tujuh malam aku sudah mengendari motorku menuju ke rumah. Aku mampir
ke warung untuk makan malam sekalian, karena tidak ada istriku artinya
di rumah juga tidak ada makanan. Hari ini sudah seminggu sejak
kepulangan istriku ke jawa. Kemarin dia telepon sepertinya masih belum
bisa pulang karena masih harus menemani ibu.
Jam setengah delapan aku sudah sampai di rumah. Tepat waktu pikiriku.
Sebelumnya aku sudah bilang Mbak Ana untuk ke rumah jam delapan saja.
Aku segera mandi dan berganti pakaian, setelah mandi aku tiduran sambil
nonton tv di kamar. Tak terasa mataku terpejam. Aku dikagetkan suara
ketukan pintu, aku terbangun setengah sadar. Ahh iya Mbak Ana pikirku,
aku segera menuju ruang tamu dan membuka pintu. Bener saja Mbak Ana yang
datang.
“Mas Richie dah di rumah ya?” Mbak Ana tersenyum menyapaku.
“Iya mbak, ini barusan juga sampainya.” Setelah Mbak Ana masuk, aku langsung menutup pintu.
“Sudah makan mbak?” tanyaku.
“Sudah mas.”
“ouuw ya udah, soalnya di rumah juga gak ada makanan mbak heheee.” Kami duduk di depan tv.
Memang di ruang tengah biasa aku gunakan untuk duduk santai, atau ketika
ada keluarga dating biasanya kami mengobrol di sofa yang ada di depan
tv. Begitu juga malam ini, rasanya akan terlalu resmi kalo aku mengajak
Mbak Ana duduk di ruang tamu, jadi di sinilah kami duduk, di depan tv.
“Ohh Mas Richie belum makan ya?” tanya Mbak Ana.
“Sudah kok mbak, tadi mampir makan sekalain pas pulang.”
Kami terdiam sejenak. Terus terang aja aku juga sedikit grogi masalah
urut-mengurut ini. Aku bingung harus bagaimana memulainya. Untungnya
Mbak Ana yang berinisiatif memulai.
“Mau diurut sekarang mas?” Mbak bertanya sambil menatapku sekilas.
“Boleh mbak, ayuk. Di kamar aja kali ya mbak?” maksudku agar aku bisa sambil tiduran dengan nyaman di tempat tidur.
“Iya mas.” Mbak Ana berjalan mengikuti aku ke kamar.
Sampai di kamar aku bingung harus gimana “Gimana nih mbak?”
“Mas Richie ada handbody?”
“Ada mbak.” aku segera mengambil handbody lotion istriku di meja rias.
“Mas Richie tidur tengkurap ya mas.”
Aku langsung tengkurap masih dengan pakaian lengkap, kaos dan boxer.
Detak jantungku mulai berakselerasi. Aku pikir Mbak Ana akan langsung
mengurut burungku hehe. Ternyata Mbak Ana memulainya dengan mengurut
kakiku. Mbak Ana mengoleskan sedikit lotion ke tangannya dan mulai
mengurut telapak kakiku. Dia memijatnya di berapa titik dan kemudian
mengurutnya naik dari betis ke paha. Dia melakukan beberapa kali,
dimulai dari kaki kiri kemudian kaki kanan.
“Maaf ya mas mbak urut di sini.” Mbak Ana lanjut mengurut beberapa titik
dipantatku. Dia memijat sebentar dan sepertinya agak bingung karena aku
masih mengenakan boxer.
“Mas Richie maaf celananya diturunin dikit ya, mbak agak susah ini ngurutnya.”
“Ahh.. iya mbak.” Aku menurunkan sedikit boxerku, sehingga setengah pantatku terlihat.
Mbak Ana melanjutkan mengurut pantatku. Tekanan dan urutan Mbak Ana
didaerah pantat mulai mempengaruhi si junior. Aku mencoba mengalihkan
perhatian supaya penisku tidak menjadi tegang. Tapi lama kelamaan urutan
Mbak Ana membuatku merasa nikmat, sehingga aku tidak bisa melawannya.
Akibatnya si junior menjadi separuh tegang. Aku hanya bisa memejamkan
mata sambil menikmati urutan Mbak Ana. Aku menikmati sensasinya.
“Mas Richie balik badannya.”
“ahh..iya.” deg deg deg detak jantungku meningkat dengan pasti, telapak
tanganku dingin. Dengan kondisi penisku yang sedang tegang dan dengan
boxer longgar yang aku pakai, pasti Mbak Ana akan melihatnya. Ahh tp toh
nanti dia juga akan mengurutnya pikirku. Aku segera membalikkan badan.
Aku melihat Mbak Ana ketika membalikkan badan, dia sama gugupnya
denganku, kepalanya menunduk tidak berani menatapku. Setelah aku
mendapat posisi nyaman aku kembali memejamkan mata. Mbak Ana meneruskan
memijat,kembali memijat kaki ku dan kemudian mengurut dari atas ke bawah
dari kaki kiri berganti kaki kanan. Aku berusaha mengendalikan nafasku
agar jantungku tidak berdetak terlalu cepat, tapi soal si junior aku
tidak bisa mengendalikannya, tekanan darah terus mengalir terpusat.
Tangan Mbak Ana beranjak ke memijat pahaku, dia mengurut dari sisi luar
mengarah ke pangkal paha.
“Ahh..” aku reflek melenguh pelan, mungkin Mbak Ana tidak mendengarnya.
Dia terus mengurut seperti itu berulang-ulang. Penisku semakin tegang,
tegang sejadi-jadinya sehingga tampak menonjol dari boxerku.
Getaran-getaran kenikmatan mulai kurasakan, gila padahal Mbak Ana sama
sekali belum menyentuhnya. Perlahan nafasku memburu. Kurang lebih 10
menit dia mengurut pahaku.
“Mas sekarang perutnya,” kata Mbak Ana sambil menyelesaikan urutan terakhir di pahaku.
Tanpa menjawab aku sedikit menarik kaosku ke atas. Aku mencoba
mengendalikan diriku kembali. Terasa tangan Mbak Ana menyentuh perutku,
pergelangan tangan Mbak Ana sempat menyentuh penisku ketika tangannya
menuju perutku. Membuatku bergetar. Mbak Ana mengurut perutku pelan dari
atas ke bawah menuju ke penisku. Aku yang sedang mencoba mengandilakn
diri kembali memburu. Sensasi kenikmatan kembali kurasakan. Sesekali
ketika mengurut ke bawah pergelangan Mbak Ana kembali mengenai ujung
penisku yang membuatku merinding menahan nikmat. Aku mulai khawatir
tidak dapat menahan kenikmatan dan menyemburkan cairanku, aku rasa
diujung penisku mulai keluar lelehan cairan. Aku sungguh menikmati
urutan Mbak Ana.
Mbak Ana menghentikan urutannya di perutku, dia tidak mengurutnya selama pahaku tadi.
“Mas sekarang itunya,” Detak jantungku meningkat, penisku semakin tegang.
“I..iya mbak,” aku membuka mata. Mbak Ana mengusap butiran keringat didahinya, sepertinya dia cukup tenang dan fokus mengurutku.
“Tolong diturunin sedikit mas celananya,” Mbak Ana melihatku sekilas
kemudian menunduk, suaranya sedikit bergetar, sepertinya tidak setenang
yang aku kira.
Perlahan aku menurunkan boxerku, penisku yang sudah tegang meloncat
keluar, aku tidak melepas boxerku hanya menurunkan sebatas paha.
Terlihat Mbak Ana mengendalikan nafasnya sepertinya dia mencoba untuk
tak terlihat grogi. Dia kembali mengusap keringaat di dahinya dan melap
tangannya dengan daster yang dikenakannya.
“Maaf ya mas,” dia memajukan tangannya ke penisku, aku bersiap-siap.
Sentuhan tangannya mulai terasa di penisku “eghh..” aku menahan nikmat. Mbak Ana diam saja.
Mbak Ana mengurut penisku perlahan dengan sedikit tekanan dari bawah ke
atas menggunakan jempolnya. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini dia
mengurut tanpa menggunakan lotion. Dia mengulangnya kembali dari bawah
ke atas. Penisku terasa tegang sekali dan aku merasa kenikmatan yang
sangat. Aku melihat Mbak Ana, dia sepertinya menghindari memandang
langsung penisku, pandangannya sedikit lebih ke atas ke arah perutku.
Karena agak membungkuk ketika mengurut, aku dapat melihat sedikit
belahan dada Mbak Ana melalui lubang atas dasternya, membuat sensasi
yang kurasakan semakin menjadi. Kami sama-sama diam, entah apa yang
dirasakan dan dipikirkan Mbak Ana. Aku? Tak ada pikiran apapun di
kepalaku tapi apa yang kurasakan membuatku melayang, seluruh tubuhku
dibaluri oleh sensasi kenikmatan, aku tak dapat menahannya. Dan benar
saja, aku rasa Mbak Ana baru mengurut penisku lima atau enam kali ketika
aku merasakan puncak kenikmatan tiba.
“Akhhhhhhh..Mbaaaak!!,” aku mengerang nikmat, memejamkan mata, menegangkan badanku ke atas, tanganku meremas sprei.
Seketika Mbak Ana menghentikan urutannya, dia menekan keras batang
penisku dengan jarinya. Aku merasakan denyut berulang dipenisku,
ledakan-ledakan kenikmatan menghantamku, orgasme, aku mencapai klimaks.
Terengah-engah, perlahan ketika kenikmatanku mulai mereda aku mulai
merasa heran, sepertinya aku tidak mengeluarkan sperma sama sekali
ketika orgasme. Aku membuka mataku, tangan Mbak Ana masih menekan batang
penisku, kulihat diujung penisku hanya terdapat sedikit lelehan cairan.
Perlahan Mbak Ana melepaskan tangannya dari penisku, kulihat dahinya
dipenuhi butiran peluh dan terlihat nafasnya sedikit memburu. Dia melap
keringat di wajah dan lehernya, aku mengambil tisu yang ada di samping
ranjangku dan menyodorkan ke Mbak Ana. Mbak Ana tersenyum mengambilnya.
Aku masih terbaring, penisku mulai menyusut, rasa gugupku hilang
seketika.
“Mbak kok aneh ya?” aku membuka percakapan. Mbak Ana duduk di sampingku menghadapku.
“Aku tadi kayaknya orgasme deh, tapi kok gak keluar spermanya ya?”
“Iya mas,” Mbak Ana maklum dengan keherananku, “tadi pas Mas Richie keluar mbak tekan supaya gak keluar.”
Suasana memang sudah lebih cair tapi terlihat Mbak Ana masih belum
tenang seperti menahan sesuatu. Aku hanya menerka-nerka sepertinya dia
terbawa suasana.
“ohh.. bisa ya seperti itu, aku baru tahu mbak, belum pernah kayak gini,
tapi tadi bener-bener enak banget mbak,” aku ngomong asal tanpa
mempedulikan kondisi Mbak Ana dan sepintas lupa tujuan urut sebenarnya.
Begitulah lelaki kalo sudah klimaks, nafsu langsung hilang seketika
hehehee. Mbak Ana hanya tersenyum menanggapiku.
“Mbak minum sebentar ya mas, ntar Mbak lanjutkan lagi,” Mbak Ana bangkit keluar dari kamar menuju dapur.
Aku tersadar, aku masih dalam prosesi urut, heran bercampur penasaran, dan ternyata ini belum selesai?

Proudly powered by WordPress