Bidadari Itu Ibu Pemilik Apartemen

Aku tiba di Jepang pertama kali pada awal Februari. Saat itu kota kecil
tempat aku belajar tengah tertutup oleh timbunan salju. Sewaktu mencari
apartemen yang kemudian kutinggali, aku hanya tahu bahwa ibu pemilik
apartemennya masih muda dan sangat cantik. Waktu itu dia mengantarku
menengok keadaan apartemen. Dia mengenakan celana jean dan jaket bulu
yang longgar dengan mengenakan penutup kepala yang menyatu dengan jaket
yang dia kenakan.

Sesudah menandatangani kontrak sewa, aku tidak pernah berjumpa lagi
dengannya hingga akhir Maret. Walaupun dia tinggal di rumah besar yang
hanya berada di samping kanan apartemen yang kusewa, namun kesibukanku
di kampus membuatku selalu pulang malam. Juga kebiasaan orang yang hidup
di negara empat musim, pada musim dingan rumah besar itu selalu menutup
pintu dan jendelanya rapat-rapat. Pada akhir pekan, waktu kuhabiskan di
dalam apartemen dengan menonton kaset video.

Pembayaran uang sewa apartemen kulakukan dengan transfer uang lewat bank
ke rekening dia. Dari situlah aku jadi hafal namanya: Yumiko Kawamura.

Yumiko ternyata sangat mengundang hasrat lelaki. Aku baru menyadarinya
pada akhir bulan April. Waktu itu hari Jumat, tanggal 30 April. Aku lupa
pergi ke bank untuk membayar sewa apartemen. Sementara kalau menunggu
hari Senin, hari sudah menunjukkan tanggal 3 Mei. Padahal sesuai
perjanjian, uang sewa bulan berikutnya harus sudah dibayarkan
selambat-lambatnya pada hari terakhir bulan sebelumnya. Maka pada malam
itu aku membawa uang sewa apartemen ke rumahnya barangkali dia mau
menerima uangnya secara langsung.

Dia sendiri yang membukakan pintu rumahnya saat itu. Aku mengemukakan
alasanku, mengapa sampai aku menyalahi kontrak perjanjian, yakni tidak
membayar lewat bank. Ternyata dia berkata, hal tersebut tidak menjadi
masalah. Lewat bank atau langsung diantarkan, baginya tidak ada
pengaruhnya. Hanya orang Jepang biasanya tidak mau repot-repot atau
belum tentu punya waktu sehingga mereka membayar uang sewa melalui
transfer otomatis antarrekening bank.

Waktu Yumiko menemuiku tersebut, aku terpesona dengan kecantikan dan
kemolekan bentuk tubuhnya. Tinggi tubuhnya sekitar 167 cm. Rambutnya
tergerai sebahu. Wajahnya putih mulus dengan bentuk mata, alis, hidung,
dan bibir yang indah. Dari celada jean ketat dan sweater yang dia
kenakan, aku dapat melihat jelas postur tubuhnya. Pinggangnya berlingkar
sekitar 58 cm. Pinggulnya melebar indah, ukuran lingkarnya tidak kurang
dari 98 cm. Payudaranya amat montok dan membusung indah, lingkarnya
sekitar 96 cm. Kalau dibawa ke ukuran BH Indonesia pasti dia memakai BH
dengan ukuran 38. Suatu ukuran payudara yang enak diciumi,
disedot-sedot, dan diremas-remas. Dari samping kulihat payudaranya
begitu menonjol dari balik sweater yang dikenakannya.

Melihat dia sewaktu membelakangiku, aku terbayang betapa nikmatnya bila
tubuh kenyal indah tersebut digeluti dari arah belakang. Perlu
diketahui, aku masih single. Walaupun aku gemar menonton video porno dan
melakukan masturbasi, namun aku belum pernah melakukan hubungan sex
dengan pacar-pacarku.

Sejak mengetahui bahwa sewa apartemen dapat dibayarkan secara langsung,
aku memutuskan untuk tidak membayar lewat transfer bank lagi. Alasannya,
aku dapat menghemat ongkos transfer. Di samping itu aku dapat menatap
wajah cantik dan tubuh aduhai Yumiko.

Bulan Mei, udara di kotaku sudah tidak terlalu dingin lagi. Sudah
berubah menjadi sejuk. Yumiko Kawamura pada hari Sabtu atau Minggu
sering terlihat bekerja di halaman. Kadang dia memotong rumput,
memangkas pepohonan kecil, atau merapihkan pot-pot tanamannya. Aku
paling suka menatap tubuhnya bila dia membelakangi jendela apartemenku.
Sungguh merupakan sosok yang enak digeluti. Apalagi bila dia sedang
menunggingkan pinggulnya yang padat, hal itu membuatku teringat pada
adegan perempuan Jepang yang sedang digenjot dalam posisi menungging
pada video-video kaset permainan sex yang sering kupinjam dari
persewaan.

Lama-lama aku tahu sedikit tentang keluarga dia. Umur Yumiko adalah 30
tahun. Anaknya dua, perempuan semua. Yang pertama berumur tujuh tahun,
yang kedua lima tahun. Suaminya bekerja di kota lain, pulangnya pada
akhir pekan. Sabtu dini hari dia tiba di rumah, dan berangkat lagi hari
Minggu tengah malam.

Di hari penutup bulan Mei, hari Senin, aku berniat membayar sewa
apartemen di petang hari. Karena itu aku pulang dari kampus lebih awal
dari biasanya. Saat itu tiba di apartemen baru jam 17:00. Sesudah
menyimpan tas punggung, aku pergi ke rumah Yumiko Kawamura. Kuketuk
pintu, namun tidak ada jawaban dari dalam. Kupencet bel yang terpasang
di kusen pintu. Kutunggu sekitar satu menit, namun tidak ada suara
apapun dari dalam rumah. Agaknya sedang tidak ada orang di rumah.
Mungkin Yumiko dan anak-anaknya sedang ke supermarket. Akhirnya aku
kembali ke apartemen dan mandi. Sehabis mandi aku menonton TV, sampai
akhirnya aku tertidur di depan TV.

Aku terbangun jam setengah delapan malam. Kutengok rumah Yumiko dari
jendela apartemen. Lampu-lampu rumahnya sudah menyala. Berarti mereka
sudah datang. Akupun membawa amplop berisi uang sewa apartemen. Kupencet
tombol bel pintunya, seraya mengucap, “Gomen kudasai.”

Sejenak hening, namun kemudian terdengar sahutan, “Hai. Chotto matte kudasai.”

Terdengar suara langkah di dalam rumah menuju pintu. Kemudian pintu
terbuka. Aku terpana. Di hadapanku berdiri Yumiko dengan hanya
mengenakan baju kimono yang terbuat dari bahan handuk sepanjang hanya 15
cm di atas lutut. Paha dan betis yang tidak ditutupi kimono itu tampak
amat mulus. Padat dan putih. Kulitnya kelihatan licin, dihiasi oleh
rambut-rambut halus yang pendek. Pinggulnya yang besar melebar dengan
aduhainya. Pinggangnya kelihatan ramping. Sementara kimono yang menutupi
dada atasnya belum sempat dia ikat secara sempurna, menyebabkan belahan
dada yang montok itu menyembul di belahan baju. Payudara yang membusung
itu dibalut oleh kulit yang putih mulus. Lehernya jenjang. Beberapa
helai rambut terjuntai di leher putih tersebut. Sementara bau harum
sabun mandi terpancar dari tubuhnya. Agaknya dia sedang mandi, atau baru
saja selesai mandi. Tanpa sengaja, sebagai laki-laki normal, kontholku
berdiri melihat kesegaran tubuhnya.

“A… Bobby-san. Watashi no imoto to omotteta…,” sapanya membuyarkan
keterpanaanku. Agaknya aku tadi dikiranya adik perempuannya. Pantas…
dia berpakaian seadanya.

Untuk selanjutnya, percakapanku dengannya kutulis di sini langsung dalam
bahasa Indonesia saja agar semua pembaca mengetahuinya, walaupun
percakapan yang sebenarnya terjadi dalam bahasa Jepang.

“Kawamura-san, maaf… saya mau membayar sewa apartemen,” kataku.

“Hai, dozo… Silakan duduk di dalam, dan tunggu sebentar,” sahutnya.

Aku berjalan mengikutinya menuju ruang tamu. Kuperhatikan gerak tubuhnya
dari belakang. Pinggul yang besar itu meliuk ke kiri-kanan mengimbangi
langkah-langkah kakinya. Edan! Ingin rasanya kudekap tubuh itu dari
belakang erat-erat. Ingin kutempelkan kontholku di liatnya gundukan
pantatnya. Dan ingin rasanya kuremas-remas payudara montoknya
habis-habisan.

Aku duduk di bantal duduk yang disediakan mengelilingi meja tamu.
Sementara dia naik tangga menuju lantai dua. Langkah-langkah betis indah
di anak-anak tangga itu tidak pernah lepas dari tatapan liar mataku.
Empat menit kemudian dia turun dari lantai dua. Baju yang dikenakan
sudah ganti. Sekarang dia mengenakan baju kimono tidur putih yang
berbahan licin. Diterpa sorot lampu, kain tersebut mempertontonkan
tonjolan buah dada sehingga tampak membusung dengan gagahnya. Dia tidak
mengenakan bra di balik kimono tidurnya, sehingga kedua puting
payudaranya tampak jelas sekali tercetak di bahan kimononya.

“Ingin minum apa? Kopi, teh, atau bir?” tanya Yumiko.

“Teh saja,” jawabku. Selama ini aku memang belum pernah minum bir. Bukan
aku antialkohol atau menganggap bahwa bir itu haram, namun hanya alasan
takut ketagihan minuman alkohol saja.

Yumiko kemudian membawa baki berisi poci teh hijau dan sebuah cangkir
untukku. Untuk dia sendiri, diambilnya satu cangkir besar dan tiga botol
bir dari kulkas. Kemudian aku pun menikmati teh khas Jepang tersebut,
sementara dia menikmati bir.

“Kok sepi? Anak-anak apa sudah tidur?” tanyaku.

“Mereka sedang main ke rumah adik perempuan saya. Tadi perginya
bersama-sama saya. Lalu saya pulang duluan karena harus ke supermarket
dulu untuk membeli sayur dan buah. Mungkin sebentar lagi mereka akan
tiba, diantar oleh adik perempuan.”

“Oh… pantas, tadi saya ke sini tidak ada orang. Sepi.”

“Bobby-san berasal dari mana? Tai? Malaysia? Filipina?”

“Saya dari Indonesia.”

“Indonesia…,” Yumiko tampak berpikir, “… dengan Pulau Bali?”

“A… itu. Bali adalah salah satu pulau dari Indonesia.”

“O ya? Sungguh pulau yang indah. Saya belum pernah ke sana, namun ingin dapat mengunjungi Bali. Saya mempunyai brosurnya.”

Yumiko beranjak dari duduknya dan mengambil suatu buku tipis tentang
pulau Bali dari rak buku. Pada posisi membelakangiku, aku menatap liar
ke tubuhnya. Mataku berusaha menelanjangi tubuhnya dari kain kimono
mengkilat yang dia kenakan. Pinggangnya ramping. Pinggulnya besar dan
indah. Kemudian betis dan pahanya yang putih mulis tampak licin
mengkilap di bawah sorot lampu TL. Betapa harum dan sedapnya bila betis
dan paha tersebut diciumi dan dijilati.

Yumiko kemudian membuka brosur tentang pulau Bali tersebut di atas meja
tamu. Dia bertanya-tanya tentang gambar yang ada dalam brosur tersebut
sambil kadang-kadang meneguk bir. Kini dari mulutnya yang indah tercium
wanginya bau bir setiap kali dia mengeluarkan suara. Kupikir sungguh
kuat dia meminum bir. Tiga gelas besar sudah hampir habis diteguknya.
Perhatian dia ke foto-foto di brosur dan bir saja. Ngomongnya kadang
agak kacau, mungkin karena pengaruh alkohol. Namun bagiku adalah
kesempatan menatapnya dari dekat tanpa rasa risih. Dia tidak menyadari
bahwa belahan kain kimono di dadanya mempertontonkan keindahan gumpalan
payudara yang montok dan putih di kala dia agak merunduk. Edan,
ranumnya! Kontholku pun menegang dan terasa hangat. Sebersit kenikmatan
terasa di saraf-saraf kontholku.

Kring… kring… Tiba-tiba telpon berdering.

Yumiko bangkit dan berjalan menuju pesawat telpon. Pengaruh kebanyakan
minum bir mulai terlihat pada dirinya. Jalannya agak sempoyongan.

“Sialan…,” makiku dalam hati karena dering telpon tersebut memutus keasyikanku melihat kemontokan payudaranya.

Yumiko terlibat pembicaraan sebentar di pesawat telpon. Kemudian kembali
lagi ke bantal duduknya semula dengan jalan yang sempoyongan.

“Anak-anak tidak mau pulang,” Yumiko menjelaskan isi pembicaraan
telponnya. “Malam ini mereka bermalam di rumah adik perempuan saya.
Besok mereka diantarnya langsung ke sekolah mereka.”

Yumiko menuangkan bir ke gelasnya lagi. Sudah gelas yang keempat. Edan
juga perempuan Jepang ini. Jalannya sudah sempoyongan namun masih terus
menambah bir.

“Bobby-san sudah menikah?” tanyanya.

“Belum,” jawabku.

“Sudah ada pacar?”

“Sudah. Saat ini masih kuliah di Indonesia.”

“Syukurlah. Nikmati masa pacaran. Masa pacaran adalah masa yang indah. Bagaimana permainan cinta sang pacar?”

Kunilai kata-kata Yumiko semakin mengacau. Semakin berada di alam antara sadar dan tidak sadar.

“Permainan cinta?”

“Iya… permainan sex.”

“Saya belum pernah melakukan hubungan sex, termasuk dengan pacar saya.
Kebanyakan perempuan di negara saya masih menjaga kegadisan sampai
dengan menikah.”

Yumiko tertawa lirih mendengar kata-kataku. Suara tawanya amat menantang
kejantananku. “Di Jepang gadis-gadis sudah melakukan hubungan sex
dengan pacar mereka pada usia 17 atau 18 tahun. Kalau belum melakukan
hal tersebut, mereka belum merasa menjadi orang dewasa. Mereka akan
diejek kawan-kawannya masih sebagai anak ingusan.”

“O… begitu. Baru tahu saya…”

“Kalau begitu Bobby-san masih perjaka?”

“Saya tidak tahu masih disebut perjaka atau tidak. Saya belum pernah
melakukan hubungan sex. Namun sejak usia 15 tahun saya suka melakukan
masturbasi untuk mengatasi kebutuhan sex saya.”

Yumiko tertawa lagi. Tawa yang membangkitkan hasrat. Sialan. Aku diejek
sebagai anak ingusan oleh pemilik bibir ranum sensual itu. Ingin rasanya
kubuktikan kedewasaan dan kejantananku. Ingin rasanya kulumat
habis-habisan bibir merekah itu. Ingin rasanya kusedot-sedot payudara
aduhai itu dengan penuh kegemasan. Dan ingin rasanya kuremas-remas
pantat kenyal Yumiko itu sampai dia menggial-gial keenakan. Agar dia
kapok.

“Kenapa tidak cari pacar yang dapat diajak berhubungan sex
sekarang-sekarang ini? Bobby-san ganteng, badan tinggi-tegap dan
berpenampilan jantan. Kalau di sini cari pacar, pasti banyak perempuan
Jepang yang mau. Sayang kalau energi pada usia muda tidak dinikmati.”
Omongan Yumiko semakin ngelantur. Pasti karena kebanyakan minum bir.
“Sebab kalau Bobby-san berumur tua sedikit, energi akan berkurang. Atau
bahkan loyo seperti suami saya. Baru main empat atau lima menit sudah
jebol pertahanannya. Dan langsung mendengkur, tidak memperdulikan saya
yang baru setengah jalan… Dasar laki-laki payah.”

Nah, benar terkaanku. Dia mulai tidak sadar. Bicaranya tambah mengacau.
Kebiasaan orang Jepang, kalau mulaihilang kesadarannya karena kebanyakan
minum bir, apa yang dia pendam dalam hati akan dia keluarkan satu per
satu.

Yumiko menenggak bir lagi. Habislah gelas yang keempat. Dan dia
mengisinya kembali sampai penuh. Padahal matanya sudah merah dan
kelihatan mengantuk. Namun dalam kondisi demikian kulihat keayuan
aslinya. Mata mungil yang setengah tertutup kelopak mata itu tampak
sangat bagus. Terus terang aku menyukai perempuan bermata sipit,
contohnya perempuan Jepang, Cina, atau Korea. Bibir Yumiko yang sensual
dan berwarna merah muda tanpa polesan lipstik itu mengeluarkan
keluhan-keluhan tentang keloyoan suaminya dalam masalah sex. Namun
biarlah dia mengoceh, bagiku yang terpenting adalah menatap bibir
merekah itu tanpa rasa risih karena yakin si empunya dalam keadaan tidak
tersadar. Wuih… enak sekali kalau bibir ranum tersebut dilumat-lumat.

“A… Bobby-san. Gomen… sampai lupa ke masalah utama. Sebentar, saya ambilkan kuitansi untuk pembayaran apartemen… “

Yumiko Kawamura menenggak bir lagi.

“Kawamura-san. Daijobu desu ka?” aku mengkhawatirkan kesadarannya karena dia sudah kebanyakan minum bir.

“Daijobu desu. Saya sudah terbiasa minum bir banyak-banyak. Semakin banyak minum bir dunia terasa semakin indah.”

Yumiko beranjak dari duduknya. Dia mencoba berdiri, namun sempoyongan
terjatuh. Aku bersiap-siap menolongnya, namun dia berkata, “Mo ii desho.
Daijobu…”

Yumiko berusaha berjalan menuju rak buku. Namun baru menapak dua
langkah… Gedebrug! Dia terjatuh seperti yang kukhawatirkan. Untung
tangannya masih sempat sedikit menjaga badannya sehingga dia tidak
terbanting di lantai kayu. Walaupun lantai kayu tersebut ditutup karpet,
namun akan cukup sakit juga bila badan sampai jatuh terbanting di
atasnya. Namun tak ayal, betis kanan Yumiko masih membentur rak kayu.

“Ak… ittai…,” dia berteriak kesakitan.

Aku segera menolongnya. Punggung dan pinggulnya kuraih. Kubopong dia ke
atas karpet bulu yang tebal. Kuletakkan kepalanya di atas bantal duduk.
Dalam waktu seperti itu, tercium bau harum sabun mandi memancar dari
tubuhnya. Kimono atasnya terbuka lebih lebar sehingga mataku yang berada
hanyasekitar 10 cm dari payudaranya melihat dengan leluasa kemontokan
gumpalan daging kenyal di dadanya. Alangkah merangsangnya. Nafsuku pun
naik. Kontholku semakin tegang. Dan ketika aku menarik tangan dari
pinggulnya, tanganku tanpa sengaja mengusap pahanya yang tersingkap.
Paha itu hangat, licin, dan mulus.

“Ittai…,” sambil masih pada posisi tiduran tangannya berusaha meraih
betisnya yang terbentur rak tadi. Namun pengaruh banyaknya bir yang
sudah dia minum membuatnya tak mampu meliukkan badannya dalam menggapai
betis. Kulihat bekas benturan tadi membuat sedikit memar di betis yang
putih indah itu.

Aku pun berusaha membantunya. Kuraih betis tersebut seraya meminta
permisi, “Sumimasen…” Kuraba dan kuurut bagian betis yang memar
tersebut.

“Ak… ittai…,” Yumiko meringis kesakitan. Namun kemudian dia bilang,
“So-so-so-so-so… Betul bagian situ yang sakit. Ah… enak… Ah…
ah… terus… terus…”

Lama-lama suaranya hilang. Sambil terus memijit betis Yumiko, kupandang
wajahnya. Matanya sekarang terpejam. Nafasnya jadi teratur, dengan bau
harum bir terpancar dari udara pernafasannya. Dia sudah tertidur. Kantuk
akibat kebanyakan minum alkohol sudah tidak mampu dia tahan lagi. Aku
semakin melemahkan pijitanku, dan akhirnya kuhentikan sama sekali.

Aku pun bingung. Apa yang harus aku lakukan? Kuambil uang sewa apartemen
dari saku kemeja dan kuletakkan di atas meja tamu di samping cangkir
tehku. Terus bagaimana dengan kuitansi pembayarannya?

Kupandangi Yumiko yang tengah tertidur. Alangkah cantiknya wajah dia.
Lehernya jenjang. Daging montok di dadanya bergerak naik-turun dengan
teratur mengiringi nafas tidurnya, seolah menantang kejantananku. Dan
dada tersebut tidak dilindungi bra sehingga putingnya menyembul dengan
gagahnya dari balik kain kimononya. Pinggangnya ramping, dan pinggulnya
yang besar melebar dengan indahnya. Kain kimono yang mengkilap tersebut
tidak mampu menyembunyikan garis segitiga celana dalamnya yang kecil.
Sungguh kontras, celana dalam minim membungkus pinggul yang maksimum.
Celana dalam yang di antara dua pahanya terlihat membelah. Pasti di situ
letak lobang memeknya.

Terbayang dengan apa yang ada di balik celana dalamnya, kontholku
menjadi semakin tegang. Apalagi paha yang putih mulusnya dipertontonkan
dengan jelas oleh kimono bagian bawah yang tersingkap. Dan paha tersebut
tersambung dengan betis yang indah.

Edan! Melihat lekuk-liku tubuh aduhai yang tertidur itu nafsuku naik.
Terbangunkah dia bila kutiduri? Beranikah aku? Teman-teman Jepangku yang
tertidur karena kebanyakan minum bir biasanya akan pulas sampai sekitar
satu atau dua jam. Apakah Yumiko juga begitu? Akankah dia terbangun
bila tubuhnya kugeluti tanpa memasukkan konthol ke liang memeknya?

Hasratku semakin memuncak. Kuelus betis indah Yumiko. Kemudian sedikit
kuremas itu untuk memastikan bahwa dia cukup pulas. Ternyata dia tidak
terbangun. Keberanianku bertambah. Kusingkapkan bagian bawah kimononya
sampai sebatas perut. Kini paha mulus itu terhampar di hadapanku. Paha
yang menantang kejantananku. Di atas paha, beberapa helai bulu jembut
keluar dari celana dalamnya yang minim. Sungguh kontras warnanya.
Jembutnya berwarna hitam, sedang tubuhnya berwarna putih.

Kueluskan tanganku menuju pangkal pahanya sambil kuamati wajah Yumiko.
Dia tidak terbangun. Kueluskan perlahan ibu jariku di bagian celana yang
mempertontonkan belahan bibir memeknya. Tiba-tiba jari-jari tangannya
bergerak seperti tersentak. Aku kaget. Segera kuhentikan aksiku karena
khawatir bila Yumiko terbangun. Namun dia tetap tertidur dengan nafas
yang teratur.

Keberanianku muncul kembali. Kini kuciumi paha mulus tersebut
berganti-ganti, kiri dan kanan, sambil tanganku mengusap dan meremasnya
perlahan-lahan. Kedua paha tersebut secara otomatis bergerak membuka
agak lebar. Namun si empunya tetap tertidur. Bau harum yang terpancar
dari pahanya membimbing hasrat kejantananku untuk meneruskan pendakian.

Dia sedang tertidur pulas! Dia sedang tidak tersadar! Dia sedang di bawah pengaruh alkohol! Kenapa aku harus takut?

Aku berjalan ke pintu dan menguncinya dari dalam, untuk berjaga-jaga
kalau ada orang dari luar mau masuk. Kemudian aku melepas celana
dalamku. Celana dalam kulipat dan kumasukkan ke dalam kantong celana
pendek yang kupakai. Celana pendek yang kukenakan adalah longgar dan
terbuat dari bahan yang tipis dan lemas, sehingga tanpa lindungan celana
dalam kontolku dapat bergerak bebas di salah satu lobang kakinya yang
memang lebar.

Kemudian kuhampiri Yumiko yang tertidur pulas. Kembali kuciumi dan
kujilati paha dan betis mulus yang berbau harum tersebut. Setelah
beberapa saat kukeluarkan konthol dari lobang kanan celana pendekku.
Kontholku sudah begitu tegang. Kutempelkan kepala kontholku di paha
mulus tersebut. Rasa hangat mengalir dari paha Yumiko ke kepala
kontholku. Kemudian kugesek-gesekkan kepala konthol di sepanjang
pahanya. Rasa geli, hangat, dan nikmat menyelimuti sel-sel kontholku.
Kontholku terus kugesek-gesekkan di paha sambil agak kutekan. Semakin
terasa nikmat. Konthol semakin tegang. Nafsu seks-ku semakin tinggi.

Aku semakin nekad. Kulepaskan ikatan baju kimono tidur Yumiko, dan
kusingkapkan baju itu ke kiri dan kanan. Tergoleklah tubuh mulus Yumiko
tanpa helaian kimono menghalanginya. Tubuh moleknya sungguh
membangkitkan birahi. Payudara yang besar membusung, pinggang yang
ramping, dan pinggul yang besar melebar dengan bagusnya. Payudaranya
menggunung putih, putingnya berdiri tegak berwarna pink
kecoklat-coklatan, dan dikelilingi oleh warna coklat kulit payudara di
sekitarnya sampai dengan diameter sekitar dua setengah centimeter.

Perlahan-lahan kucium payudara montok Yumiko. Hidungku mengendus-endus
kedua payudara yang berbau harum sambil sesekali mengecupkan bibir dan
menjilatkan lidahku. Kemudian puting payudara kanannya kulahap ke dalam
mulutku. Badannya sedikit tersentak ketika puting itu kugencet perlahan
dengan menggunakan lidah dan gigi atasku. Aku pun terperanjat. Namun dia
tetap tertidur. Kini kusedot-sedot puting payudaranya secara berirama.
Mula-mula lemah, lama-lama agak kuperkuat sedotanku. Kuperbesar daerah
lahapan bibirku. Kini puting dan payudara sekitarnya yang berwarna
kecoklatan itu semua masuk ke dalam mulutku. Kembali kusedot daerah
tersebut dari lemah-lembut menjadi agak kuat. Yang penting
perlahan-lahan tanpa irama yang menyentak, agar dia tidak terbangun.
Namun walaupun tetap tertidur, mimik wajah Yumiko tampak sedikit
berubah, seolah menahan suatu kenikmatan.

Kedua payudara harum itu kuciumi dan kusedot-sedot secara berirama.
Kontholku bertambah tegang. Sambil terus menggumuli payudara dengan
bibir, lidah, dan wajahku, aku terus menggesek-gesekkan konthol di kulit
pahanya yang halus dan licin. Rasa nikmat dan hanya merembes dari
kontholku ke sel-sel otak di kepalaku. Dan mulut kecil di kepala
kontholku ikut-ikutan mencari rasa geli dan nikmat lewat kecupan-kecupan
kecilnya nya di permukaan mulus kulit paha Yumiko.

Kubenamkan wajahku di antara kedua belah gumpalan dada Yumiko. Kemudian
perlahan-lahan bergerak ke arah bawah. Kugesek-gesekkan wajahku di
lekukan tubuh yang merupakan batas antara gumpalan payudara dan kulit
perutnya. Kiri dan kanan kuciumi dan kujilati secara bergantian.
Keharuman yang terpancar dari badannya kuhirup dengan rakusnya, dengan
habis-habisan, seolah tidak rela bila ada bagian kulit tubuh yang
terlewatkan barang satu milimeter pun.

Kecupan-kecupan bibirku, jilatan-jilatan lidahku, dan endusan-endusan
hidungku pun beralih ke perut dan pinggang Yumiko. Sementara
gesekan-gesekan kepala kontholku kupindahkan ke betisnya. Bibir dan
lidahku menyusuri perut sekeliling pusarnya yang putih mulus. Kemudian
wajahku bergerak lebih ke bawah. Dengan nafsu yang menggelora kupeluk
pinggulnya secara perlahan-lahan. Kecupanku pun berpindah ke celana
dalam tipis yang membungkus pinggulnya tersebut. Kususuri pertemuan
antara kulit perut dan celana dalam. Kemudian ke arah pangkal paha.
Kujilat helaian-helaian rambut jembutnya yang keluar dari celana
dalamnya. Lalu kuendus dan kujilat celana dalam pink itu di bagian yang
tidak mampu menyembunyikan lekuk belahan bibir memeknya. Kuhirup
kuat-kuat bau khas yang terpancar dari balik celana dalam yang membuat
nafsuku semakin meronta-ronta.

Setelah cukup puas, aku mengakhiri kecupan dan jilatanku di celana dalam sekitar memeknya tersebut.

Aku bangkit. Dengan posisi berdiri di atas lutut kukangkangi tubuh mulus
yang begitu menggairahkan tersebut. Kontholku yang tegang kemudian
kutempelkan di kulit payudara Yumiko. Kepala konthol kugesek-gesekkan di
kehalusan kulit payudara yang menggembung montok itu. Kembali rasa
geli, hangat, dan nikmat mengalir di syaraf-syaraf kontholku. Sambil
kukocok batangnya dengan tangan kananku, kepala konthol terus kugesekkan
di gumpalan daging payudaranya, kiri dan kanan. Rasa nikmat semakin
menjalar. Aku ingin berlama-lama merasakannya.

Setelah sekitar dua menit aku melakukan hal itu, nafsuku yang semakin
tinggi mengalahkan rasa takut. Kulepas celana pendekku. Tampak kontholku
yang besar dan panjang berdiri dengan gagahnya. Kuraih kedua belah
gumpalan payudara mulus Yumiko yang montok itu. Aku berdiri di atas
lutut dengan mengangkangi pinggang ramping Yumiko dengan posisi badan
sedikit membungkuk. Batang kontholku kemudian kujepit dengan kedua
gumpalan payudaranya. Kini rasa hangat payudara Yumiko terasa mengalir
ke seluruh batang kontholku.

Perlahan-lahan kugerakkan maju-mundur kontholku di cekikan kedua
payudara Yumiko. Kekenyalan daging payudara tersebut serasa
memijit-mijit batang kontholku, memberi rasa nikmat yang luar biasa. Di
kala maju, kepala kontholku terlihat mencapai pangkal lehernya yang
jenjang. Di kala mundur, kepala kontholku tersembunyi di jepitan
payudaranya. Lama-lama gerak maju-mundur kontholku bertambah cepat, dan
kedua payudara montoknya kutekan semakin keras dengan telapak tanganku
agar jepitan daging kenyal di batang kontholku semakin kuat. Aku pun
merem melek menikmati enaknya jepitan payudara indah.

Bibir Yumiko pun mendesah-desah tertahan, “Ah… hhh… hhh… ah…”
Mungkin walaupun tetap dalam keadaan tertidur pulas, dia merasa geli dan
ngilu-ngilu enak di kedua gumpalan payudaranya yang kutekan-tekan
dengan telapak tanganku dan kukocok dengan kontholku.

Bibir mungil di kepala kontholku pun mulai melelehkan sedikit cairan.
Cairan tersebut membasahi belahan payudara Yumiko. Oleh gerakan
maju-mundur kontholku di dadanya yang diimbangi dengan tekanan-tekanan
dan remasan-remasan tanganku di kedua payudaranya, cairan itu menjadi
teroles rata di sepanjang belahan dadanya yang menjepit batang
kontholku. Cairan tersebut menjadi pelumas yang memperlancar
maju-mundurnya kontholku di dalam jepitan payudaranya. Dengan adanya
sedikit cairan dari kontholku tersebut aku merasakan keenakan dan
kehangatan yang luar biasa pada gesekan-gesekan batang dan kepala
kontholku dengan kulit payudara indahnya.

“Hih… hhh… edan… edan… Luar biasa enaknya…,” aku tak kuasa menahan rasa enak yang tak terperi.

Sementara nafas Yumiko dalam tidurnya menjadi tidak teratur.
Desahan-desahan keluar dari bibirnya yang sensual, yang kadang diseling
desahan lewat hidungnya, “Ngh… ngh… hhh… heh… eh… ngh…”

Desahan-desahan Yumiko baik yang lewat hidung maupun lewat bibir semakin
menuntun nafsuku untuk menaiki suatu perjalanan pendakian yang indah.
Gesekan-gesekan maju-mundurnya kontholku di jepitan gumpalan payudaranya
semakin cepat. Kontholku semakin tegang dan keras. Kurasakan pembuluh
darah yang melalui batang kontholku berdenyut-denyut, menambah rasa
hangat dan nikmat yang luar biasa.

“Sugoi… edan… oh… hhh…,” erangan-erangan keenakan keluar tanpa
kendali dari mulutku. “Sugoi… sugoi… Enak sekali, Yumiko… Heh…
rasa cewek Jepang luar biasa… Hhh… enaknya payudara Jepang… hhh…
enaknya gesekan kulit mulus Jepang… ah… Enaknya… mulusnya…
hangatnya… enak sekali payudara Jepang…”

Aku menggerakkan maju-mundur kontholku di jepitan payudara Yumiko dengan
semakin cepatnya. Rasa enak yang luar biasa mengalir dari konthol ke
syaraf-syaraf otakku. Kulihat wajah Yumiko Kawamura. Walupun tertidur,
namun alis matanya yang bagus bergerak naik turun seiring dengan
desah-desah perlahan bibir sensualnya akibat tekanan-tekanan,
remasan-remasan, dan kocokan-kocokan di buah dadanya. Ada sekitar lima
menit aku menikmati rasa keenakan luar biasa di jepitan payudaranya itu.

Payudara sebelah kanannya kulepas dari telapak tanganku. Tangan kananku
lalu membimbing konthol dan menggesek-gesekkan kepala konthol dengan
gerakan memutar di kulit payudaranya yang halus mulus. Sambil jari-jari
tangan kiriku terus meremas payudara kiri Yumiko, kontholku kugerakkan
memutar-mutar menuju ke bawah. Ke arah perut. Dan di sekitar pusarnya,
kepala kontholku kugesekkan memutar di kulit perutnya yang putih mulus,
sambil sesekali kusodokkan perlahan di lobang pusarnya. Rasa hangat,
nikmat, dan bercampur geli menggelitiki kepala kontholku.

Keberanianku semakin tinggi. Sekarang kedua tanganku mencopot celana
dalam minimnya. Pinggul yang melebar indah itu tidak berpenutup lagi.
Kulit perut yang semula tertutup celana dalam tampak jelas sekali.
Licin, putih, dan amat mulus. Di bawah perutnya, jembut yang hitam lebat
menutupi daerah sekitar lobang kemaluannya. Kedua paha mulus Yumiko
kemudian kurenggangkan lebih lebar. Kini hutan lebat di bawah perut tadi
terkuak, mempertontonkan alat kemaluannya. Bibir memek Yumiko nampak
berwarna coklat tua bersemu pink.

Aku pun mengambil posisi agar kontholku dapat mencapai alat kemaluan
Yumiko dengan mudahnya. Dengan tangan kanan memegang batang konthol,
kepalanya kugesek-gesekkan ke jembut Yumiko. Rasa geli menggelitik
kepala kontholku. Kemudian kepala kontholku bergerak menyusuri jembut
menuju ke memeknya. Kugesek-gesekkan kepala konthol ke sekeliling bibir
memeknya. Terasa geli dan nikmat. Kemudian kepala konthol kugesekkan
agak ke arah lobang. Dan menusuk sedikit ke dalam. Lama-lama dinding
mulut lobang kemaluan itu menjadi basah. Kugetarkan perlahan-lahan
kontholku sambil terus memasuki lobang memek. Kini seluruh kepala
kontholku yang berhelm pink tebenam dalam jepitan mulut memek Yumiko.
Jepitan mulut memek itu terasa hangat dan enak sekali. Sementara getaran
perlahan dengan amplituda kecil tanganku pada batang konthol membuat
kepala kontholku merasa geli dan nikmat dalam sentuhan-sentuhannya
dengan dinding lobang memek.

Kembali dari mulut Yumiko keluar desisan kecil tanda nikmat tak terperi.

Kontholku semakin tegang. Sementara dinding mulut memek Yumiko terasa
semakin basah. Perlahan-lahan kontholku kutusukkan lebih ke dalam. Kini
tinggal separuh batang yang tersisa di luar. Tusukan kuhentikan untuk
memastikan bahwa Yumiko tidak terbangun. Setelah yakin dia tidak
terbangun, kembali secara perlahan kumasukkan kontholku ke dalam memek.
Terbenam sudah seluruh batang kontholku di dalam memek Yumiko. Sekujur
batang konthol sekarang dijepit oleh daging hangat yang basah di dalam
memek Yumiko dengan sangat enaknya.

Sesaat aku diam. Kulihat ekspresi wajah Yumiko kembali mengendur.
Artinya dia tidak terbangun. Kemudian secara perlahan-lahan kugerakkan
keluar-masuk kontholku ke dalam memeknya. Sewaktu keluar, yang tersisa
di dalam memek hanya kepala konthol saja. Sewaktu masuk seluruh konthol
terbenam di dalam memek sampai batas pangkalnya. Rasa hangat dan enak
yang luar biasa kini seolah memijiti seluruh bagian kontholku. Aku
menyukai rasa nikmat ini. Aku terus memasuk-keluarkan kontholku ke
lobang memeknya. Namun semua gerakanku kujaga tidak menghentak-hentak
agar Yumiko tidak terbangun. Dalam keadaan tetap tertidur alis matanya
terangkat naik setiap kali kontholku menusuk masuk memeknya secara
perlahan. Bibir segarnya yang sensual sedikit terbuka, sedang giginya
terkatup rapat. Dari mulut sexy itu keluar desis kenikmatan, “Sssh…
sssh… hhh… hhh… ssh… sssh…”

Aku terus mempertahankan kenikmatan yang mengalir lewat batang kontholku
dengan mengocok perlahan-lahan memek perempuan Jepang tersebut. Enam
menit sudah hal itu berlangsung. Lama-lama aku membutuhkan kocokan yang
agak menghentak-hentak agar dapat mengakhiri perjalanan pendakian
tersebut. Namun bila kocokan itu kulakukan ke memek Yumiko bisa-bisa dia
terbangun. Jadi kocokan yang menghentak-hentak pada konthol harus
kulakukan di luar memeknya.

batang konthol itu kulakukan. Aku kembali memasukkan seluruh kontholku
ke dalam memeknya. Kembali kukocok secara perlahan memeknya. Kunikmati
kehangatan daging dalam memeknya. Kurasakan enaknya jepitan otot-otot
memek pada kontholku.

Kubiarkan kocokan perlahan tersebut sampai selama dua menit. Kembali
kutarik kontholku dari memek Yumiko. Namun kini tidak seluruhnya, kepala
konthol masih kubiarkan tertanam dalam mulut memeknya. Sementara batang
konthol kukocok denganjari-jari tangan kananku dengan cepatnya.
Walaupin sudah berhati-hati, namun kepala konthol itu menggelitiki
dinding memek dengan amplituda kecil tetapi berfrekuensi tinggi akibat
kocokan tanganku di batangnya. Hal tersebut menyebabkan rasa enak tak
terperi. Geli, hangat, dan nikmat.

Rasa enak itu agaknya dirasakan pula oleh Yumiko. Terbukti walaupun
dalam keadaan tidur, dia mendesah-desah akibat sentuhan-sentuhan getar
kepala kontholku pada dinding mulut memeknya, “Sssh… sssh… zzz…
ah… ah… hhh…”

Tiga menit kemudian kumasukkan lagi seluruh kontholku ke dalam memek
Yumiko. Dan kukocok perlahan. Kunikmati kocokan perlahan pada memeknya
kali ini lebih lama. Sampai kira-kira empat menit. Lama-lama aku tidak
puas. Kupercepat gerakan keluar-masuk kontholku pada memeknya, namun
tetap kujaga agar jangan menyentak-sentak. Kurasakan rasa enak sekali
menjalar di sekujur kontholku. Aku sampai tak kuasa menahan ekspresi
keenakanku. Sambil tertahan-tahan, aku mendesis-desis, “Subarashii…
subarashii… sugoi… sugoi… edan… enaknya… Edan, hangatnya memek
Jepang… Edan jepitan memeknya… Yumiko… memekmu luar biasa…
Edan… nikmatnya…”

Gerakan keluar-masuk secara cepat itu berlangsung sampai sekitar empat
menit. Kemudian rasa gatal-gatal enak mulai menjalar di sekujur
kontholku. Berarti beberapa saat lagi aku akan mengalami orgasme. Ke
mana harus kusemprotkan? Yang jelas jangan di dalam memeknya. Dapat
diketahui Yumiko nantinya. Apalagi kalau Yumiko sampai hamil dan
terlahir anak Indonesia.

Kucopot kontholku dari memek Yumiko. Segera aku berdiri dengan lutut
mengangkangi tubuhnya agar kontholku mudah mencapai payudaranya. Kembali
kuraih kedua belah payudara montok itu untuk menjepit kontholku yang
berdiri dengan amat gagahnya. Agar kontholku dapat terjepit dengan
enaknya, aku agak merundukkan badanku. Kemudian kontholku kukocokkan
maju-mundur di dalam jepitan buah dada aduhai itu. Cairan dinding memek
Yumiko yang membasahi kontholku kini merupakan pelumas yang pas dalam
memberi keenakan luar biasa pada gesekan-gesekan kontholku dan kulit
buah dada yang mulus itu.

“Edan… Yumiko. Edan… luar biasa… Enak sekali… Payudaramu kenyal
sekali… Payudaramu indah sekali… Payadaramu montok sekali…
Payudaramu mulus sekali… Oh… hangatnya… Sssh… nikmatnya…
Tubuhmu luarrr biasa…”, aku merintih-rintih keenakan.

Sementara di dalam tidurnya Yumiko mendesis-desis keenakan, “Sssh…
sssh… sssh…” Giginya tertutup rapat. Alis matanya bergerak ke atas
ke bawah.

Aku mempercepat maju-mundurnya kontholku. Aku memperkuat tekananku pada
payudaranya agar kontholku terjepit lebih kuat. Rasa enak menjalar lewat
kontholku. Rasa hangat menyusup di seluruh kontholku. Karena basah oleh
cairan memek, kepala kontholku tampak amat mengkilat di saat melongok
dari jepitan buah dada Yumiko. Leher konthol yang berwarna coklat tua
dan helm konthol yang berwarna pink itu menari-nari di jepitan
payudaranya. Lama-lama rasa gatal yang menyusup ke segenap penjuru
kontholku semakin menjadi-jadi.

Semakin kupercepat kocokan kontholku pada payudara Yumiko. Rasa gatal
semakin hebat. Rasa hangat semakin luar biasa. Dan rasa enak semakin
menuju puncaknya. Tiga menit sudah kocokan hebat kontholku di payudara
montok itu berlangsung. Dan ketika rasa gatal dan enak di kontholku
hampir mencapai puncaknya, aku menahan sekuat tenaga benteng
pertahananku sambil mengocokkan konthol di kempitan payudara indah
Yumiko dengan sangat cepatnya. Rasa gatal, hangat, dan enak yang luar
biasa akhirnya mencapai puncaknya. Aku tak kuasa lagi membendung
jebolnya tanggul pertahananku.

“Yumiko…!” pekikku dengan tidak tertahankan. Mataku membeliak-beliak.

Jebollah pertahananku. Rasa hangat dan nikmat yang luar biasa menyusup
ke seluruh sel-sel kontholku saat menyemburkan cairan sperma.

Crot! Crot! Crot! Crot!

Spermaku menyemprot dengan derasnya. Sampai empat kali. Kuat sekali
semprotannya, sampai menghantam rahang bagus Yumiko. Sperma tersebut
berwarna putih dan kelihatan sangat kental. Dari rahang sperma yang
banyak sekali itu mengalir turun ke arah leher Yumiko yang putih dan
jenjang.

Sperma yang tersisa di dalam kontholku pun menyusul keluar dalam tiga
semprotan. Cret! Cret! Cret! Kali ini semprotannya lemah. Semprotan awal
hanya sampai pangkal batang leher mulus Yumiko, sedang yang terakhir
hanya jatuh di atas belahan payudaranya.

Sejenak aku terdiam. Aku menikmati akhir-akhir kenikmatan pada penghujung pendakianku ini.

“Sugoi… luar biasa… Yumiko, nikmat sekali tubuhmu…,” aku bergumam
lirih. Baru kali ini aku mengalami kenikmatan sex yang indah luar biasa.
Diri bagai terlempar ke langit ketujuh. Jauh lebih indah daripada
masturbasi dengan menghadapi gambar artis sexy yang bugil.

Setelah nafsuku menurun, kontholku pun mengecil. Kulepaskan payudara
Yumiko dari raupan telapak tanganku. Kontholku sekarang tergeletak di
atas belahan payudaranya. Suatu komposisi warna yang kontras pun
terlihat, batang kontholku berwarna coklat dengan kepala konthol berhelm
pink, sedang kulit payudara montok Yumiko adalah putih mulus. Masih
tidak puas aku memandangi payudara indah yang terhampar di depan mataku
tersebut. Kemudian mataku memandang ke arah pinggangnya yang ramping dan
pinggulnya yang melebar indah. Terus tatapanku jatuh ke memeknya yang
dikelilingi oleh bulu jembut hitam jang lebat. Kubayangkan betapa
enaknya bila bermain sex dalam kesadaran penuh dengan Yumiko. Aku dapat
menggeluti dan mendekap kuat tubuhnya yang benar-benar menantang
kejantanan. Aku dapat mengocok memeknya dengan kontholku dengan irama
yang menghentak-hentak kuat. Dan aku dapat menyemprotkan spermaku di
dalam memeknya sambil merengkuh kuat-kuat tubuhnya di saat orgasmeku.

“Engh…” Tiba-tiba Yumiko menggeliatkan badannya.

Aku terkejut dan tersadar. Cepat-cepat aku meraih celana pendekku dan
berlindung di belakang meja tamu. Sebentar menunggu reaksi, namun Yumiko
tertidur kembali dengan nafas yang teratur. Aku segera mengelap konthol
dengan tissue yang ada di atas meja, dan memakai celana pendek.
Sementara kubiarkan celana dalamku tetap di dalam saku celana pendek
agar aku kontholku segera tertutup kembali.

Kemudian beberapa lembar tissue kuambil untuk mengelap spermaku yang
berleleran di rahang, leher, dan buah dada Yumiko. Ada yang tidak dapat
dilap, yakni cairan spermaku yang sudah terlajur jatuh di rambut
kepalanya.

“Ah, nggak apa-apalah. Masak dia tahu. Dia kan hilang kesadarannya.
Mungkin juga dia baru terbangun besok pagi,” demikian pikirku.

Celana dalam pink kupakaikan kembali ke pinggul Yumiko. Dan… edan!
Kontholku mulai berdiri lagi melihat kemolekan tubuh Yumiko. Namun aku
tidak boleh melakukannya lagi. Salah-salah dia terbangun. Cukup sudah
sekali aku menikmati tubuhnya di saat dia tertidur pulas oleh pengaruh
alkohol sehingga berlangsung aman. Daripada aku menanggung resiko lagi.

Kurapihkan kembali baju kimono tidurnya. Tissue-tissue bekas pengelap
konthol dan sperma di tubuh Yumiko kukumpulkan menjadi satu. Akan
kusimpan sebagai kenang-kenangan bahwa aku sudah berhasil menggeluti
tubuh perempuan Jepang yang molek walaupun dia dalam keadaan tertidur.
Akhirnya aku memutuskan kembali ke apartemenku sendiri, meninggalkan
Yumiko yang tertidur pulas di atas karpet di samping meja tamu. Sempat
kulirik jam dinding di ruang tamu Yumiko, jarum jam menunjukkan pukul
sembilan kurang seperempat. Kututup pintu rumah Yumiko sambil bergumam
lirih, “Terimakasih atas servis kenikmatannya, Yumiko-san.”

Proudly powered by WordPress