Kado ultah dari Tante Ning

Barangkali aku ditakdirkan untuk selalu mempunyai skandal sex. Setelah
berusaha setia selama 3 tahun menikah, ternyata akhirnya aku
berselingkuh, bahkan dengan pembantu (lihat IMAH BABUKU SAYANG 1 &
2). Rasanya memang lebih nikmat kalau hubungan itu menyerempet-nyerempet
bahaya. Semakin berisiko, semakin besar sensasinya.

Sebelum aku menikah, pengalaman seksualku cukup banyak, sebagian besar
pasti berisiko tinggi seperti itu. Antara lain: dengan dosen, dengan
teman adikku, dengan pacar teman, dengan adik pacar, dan masih banyak
lagi. Semua itu mungkin dipengaruhi oleh pengalaman pertamaku, perjakaku
direnggut oleh perempuan yang masih terhitung tanteku sendiri, sepupu
jauh ibuku.

Itu terjadi ketika aku berumur 17 tahun, kelas 2 SMU. Sudah lama sekali,
tapi kesannya yang mendalam membuat aku tidak akan pernah bisa lupa.
Aku bahkan bisa mengingatnya dengan detil, dan kenangan itu selalu
membuat aku terangsang.

Aku memanggilnya Tante Ning. Orangnya baik, supel dan enak diajak
ngobrol. Wajahnya sih relatif, tapi menurutku lumayan manis. Yang jelas,
kulitnya putih mulus dan body-nya mantap. Waktu itu umurnya sekitar 25
sampai 30 tahun, punya satu anak laki-laki yang masih kecil.

Keluarga Tante Ning tinggal di Surabaya. Dia sendiri tinggal di Jakarta
selama satu tahun untuk mengikuti suatu pendidikan. Selama di Jakarta,
dia tinggal di rumah kami. Kebetulan rumah kami cukup besar, dan ada
satu kamar kosong yang memang disediakan untuk tamu.

Sebenarnya Tante Ning itu bukan type perempuan yang nakal. Setahuku dia
termasuk perempuan baik-baik, dan rumah tangganya pun kelihatan
rukun-rukun saja. Tapi yang jelas dia kesepian selama tinggal di
Jakarta. Dia butuh sex. Kebetulan di sini boleh dibilang cuma aku cowok
yang dekat dengan dia. Jadi, kukira wajar kalau akhirnya affair itu
terjadi. Lagipula, kukira Tante Ning memang termasuk perempuan yang
besar nafsu sex -nya.

Sejak peristiwa yang pertama, kami seperti ketagihan. Kami ML kapan
saja, setiap ada kesempatan. Di kamar, di dapur, di kamar mandi, di
hotel, di mana saja. Demi menyalurkan nafsuku yang seakan tak pernah
surut pada Tante Ning, aku bahkan jadi sering bolos ataupun kabur dari
sekolah, dan tanteku yang manis dan sexy itu selalu siap meladeniku.

Akibatnya, tahun itu aku tidak naik kelas. Semua orang kaget, hanya
Tante Ning yang maklum. Dia bilang, walaupun aku tidak naik kelas, tapi
aku “lulus” sebagai laki-laki. Harus kuakui, Tante Ning adalah guruku
yang terbaik dalam hal yang satu itu.

Untungnya affair itu tidak berlanjut sampai ketahuan orang. Begitu Tante
Ning kembali ke Surabaya, boleh dibilang hubungan kami berakhir,
walaupun di awal-awal sesekali kami masih melakukannya (kalau Tante Ning
datang ke Jakarta).

Aku lupa, Tante Ning mengikuti pendidikan apa di Jakarta. Dia kursus
sore hari dan pulangnya sudah agak malam, sekitar jam 8. Oleh karena
itu, aku mendapat tugas menjemput naik motor. Awalnya sebel juga jadi
“tukang ojek” begitu. Untung cuma 2 kali seminggu. Tapi, lama-lama aku
malah senang.

Kami cepat sekali menjadi akrab. Tante Ning tidak canggung-canggung lagi
memeluk pinggangku bila kami berboncengan naik motor. Sesekali aku
dapat merasakan tonjolan buah dadanya yang menekan empuk punggungku. Itu
makanya aku jadi senang. Waktu itu terus terang aku belum punya pacar,
jadi bersentuhan dengan perempuan adalah pengalaman yang sangat
menyenangkan bagiku.

Hari itu aku berulang tahun yang ke 17. Pagi-pagi sebelum berangkat
sekolah, orang tua dan adikku memberi selamat. Cuma Tante Ning yang
tidak. Aku jadi sebel. Apakah aku betul-betul cuma dianggap sebagai
“tukang ojek” selama ini? Tapi ternyata dia memilih cara lain. Ketika
aku sedang membereskan tas sekolahku di dalam kamar, Tante Ning masuk.
Kukira dia mau memberi ucapan selamat, tapi ternyata tidak juga. Dia
bilang, seharusnya sweet seventeen dirayakan secara khusus. “Nggak ada
uang,” jawabku asal-asalan. Tante Ning mengusap pipiku.

“Nanti sore kita rayain berdua,” katanya, suaranya pelan sekali. “Tante mau kasih kado spesial buat kamu.”

Aku jadi deg-degan. Di sekolah, pikiranku ngelantur tidak karuan,
ulanganku jadi jeblok banget. Aku penasaran, apa betul Tante Ning mau
memberi kado spesial. Entah kenapa, aku mulai membayangkan yang
bukan-bukan.

Karena tidak sabar, ketika jam istirahat aku ke telepon umum di seberang
jalan. (Waktu itu belum ada HP). Di rumah cuma ada Tante Ning dan si
Mbok. Aku hampir-hampir tidak bisa ngomong waktu denger suara Tante Ning
yang merdu. Dengan lugu, akhirnya aku berterus terang bahwa aku
penasaran. Kata Tante Ning,

“Selama ini kamu baik sekali sama Tante. Jadi, kamu boleh minta apa pun
yang kamu mau.” “Kalau Tante sendiri mau kasih apa?” tanyaku. “Ya nanti
dong!” “Nggak sabaran nih!” “Pulang aja sekarang kalau nggak sabar. Bisa
kabur, kan?” “Tapi nanti aku ada ulangan!” “Ya udah, terserah kamu!”

Aku jadi tambah penasaran. Obrolan di telepon membuat pikiranku
bertambah jorok. Entah bagaimana, feeling-ku mengatakan bahwa Tante Ning
“naksir” aku. Maka, tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung pulang
saat itu juga. Kukebut motorku.

Tante Ning tersenyum ketika membukakan pintu. “Si Mbok baruuuuu aja ke
pasar!” katanya tanpa kutanya, seperti memberi isyarat bahwa situasi
rumah benar-benar aman untuk kami. Aku jadi tambah deg-degan. Pikiran
jorokku bertambah. Lebih-lebih saat itu Tante Ning mengenakan daster
yang potongannya rada sexy.

“Kadonya mana?” tanyaku tidak sabar. “Nanti dulu dong!” jawab Tante
Ning. Lalu aku disuruh menunggu di ruang duduk keluarga, sementara dia
masuk ke kamar. Aku duduk di sofa sambil membuka sepatu. Tidak lama,
Tante Ning keluar kamar, tapi aku tidak melihat dia membawa kado. Sambil
memandangi dia berjalan ke arahku, aku berpikir, “Ngapain dia tadi
masuk kamar?” Aku menemukan jawabannya beberapa saat kemudian, ketika
kelihatan olehku kedua puting susunya membayang di balik daster. Rupanya
di kamar tadi dia cuma membuka BH. Lalu, mana kadonya?

“Merem dong!” kata Tante Ning sambil duduk di sebelahku. Aku menurut,
kupejamkan mataku. Jantungku semakin bergemuruh. Kurasakan kelelakianku
mulai bangkit, anuku mulai mengeras. Lebih-lebih ketika kurasakan nafas
Tante Ning dekat sekali dengan mukaku. Aku ingin membuka mata, tetapi
takut. Maka aku terus memejamkan mata rapat-rapat, sampai kurasakan
Tante Ning mengecup pipiku. Lembut sekali. Kiri dan kanan.

“Itu kadonya?” tanyaku memberanikan diri beberapa saat kemudian. Tante
Ning tersenyum. “Itu kado spesial dari Tante,” katanya lembut. “Tapi
kalau kamu mau yang lain, kamu boleh minta. Apapun yang kamu mau….”
“Aa…aa…aku… tidak berani…” jawabku terbata-bata. “Padahal kamu kepingin
sesuatu?” dia mendesak sambil merapatkan body-nya. Aku semakin
deg-degan. Tonjolan toketnya yang montok menekan lembut lenganku. Aku
tidak berani membalas tatapan matanya. “Bilang dong…” suara Tante Ning
semakin lembut. Wajahnya semakin dekat, aku jadi semakin tidak berani
mengangkat wajah. Sampai tiba-tiba kulihat tangannya merayap… meraba
selangkanganku!

Aku terkejut, bercampur malu karena ketahuan saat itu aku sudah
“ngaceng”. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Tante Ning waktu itu,
karena aku tetap belum berani melihat wajahnya, tetapi yang jelas dia
malah memijit-mijit tonjolan batang kemaluanku yang tentu saja jadi
semakin keras.

“Tante… aku…” Aku semakin tidak enak hati, sementara nafsuku semakin
tinggi. “Vaaan, kamu udah gede sekarang….,” bisik Tante Ning. “Udah 17
tahun, udah dewasa…” “Maksud Tante, aku boleh….” “Kamu boleh apapun yang
kamu mau, Sayang!”

Berkata begitu, Tante Ning menerkam mulutku dengan bibirnya. Aku sejenak
terkejut dengan serbuan ganas mulut Tante Ning yang kian binal
melumat-lumat mulutku, mendesak-desaknya ke dalam dengan buas. Sementara
jemari kedua tangannya menggerayangi seluruh bagian kulit tubuhku,
terutama pada bagian punggung, dada, dan selangkanganku. Tidak karuan
lagi, aku jadi terangsang. Kini aku berani membalas ciuman buas Tante
Ning. Nampaknya Tante Ning tidak mau mengalah, dia bahkan tambah liar
lagi. Kini mulut Tante Ning merayap turun ke bawah, menyusuri leher dan
dadaku. Kemeja seragamku entah kapan dibukanya, tahu-tahu sudah
teronggok di lantai. Beberapa cupangan yang meninggalkan warna merah
menghiasi leher dan dadaku. Lalu dengan liar Tante Ning membawaku turun
ke karpet, dibukanya celana panjang abu-abuku, demikian pula celana
dalamku dilucutinya dengan gerakan tergesa-gesa. Aku menjadi telanjang
bulat.

“Oohhh…. Ivaaan…., Tante nggak nyangka, punyamu bagus juga….” seru
bergairah Tante Ning sambil memasukkan batang kejantananku ke dalam
mulutnya, dan mulailah dia mengulum-ngulum, sesekali dibarengi dengan
menyedot-nyedot. Sementara tangan kanannya mengocok-ngocok batang
kejantananku, sedang jemari tangan kirinya meremas-remas buah
kemaluanku. Aku hanya mengerang-erang merasakan sensasi yang nikmat
tiada taranya.

Pada satu kesempatan, aku berhasil mencopot daster Tante Ning, sehingga
dia tinggal mengenakan celana dalam saja. Aku sangat terkejut saat
melihat ukuran buah dadanya. Luar biasa besarnya. Bulat, montok, masih
sangat kencang walaupun dia sudah beranak satu. Nafsuku jadi semakin
tidak terkendali. Tanpa malu-malu, aku merintih-rintih sembari
mengatakan bahwa aku merasa enak luar biasa. Sampai akhirnya kulihat
Tante Ning menurunkan celana dalamnya sendiri. Dia bugil di hadapanku!
Aku sempat berpikir waras, kami tidak boleh melakukan semua ini! Tapi
waktu itu Tante Ning sudah menduduki kedua pahaku yang mengangkang.
Kemaluannya yang berbulu rimbun tepat menempel di batang kemaluanku. Aku
menelentang pasrah.

“A..a..aku… tttakut, Tante…,” kataku ketika kurasakan Tante Ning mulai
menyusup-nyusupkan batang penisku ke dalam lubang vaginanya yang basah.
Tante Ning tidak peduli, kurasakan ujung batang penisku sudah masuk.
Tapi bagaimanapun Tante Ning mengalami kesulitan karena aku masih
setengah hati.

Tante Ning menciumi mukaku. Bibirku dilumatnya kembali, lalu lidahnya
menjulur-julur menjilat-jilat. Sementara itu, tangan kanannya terus
berusaha menjejal-jejalkan batang penisku ke dalam lubang surgawi
miliknya.

“Ivan, please..,” desahnya di telingaku. “Kamu udah gede, kamu udah boleh, Van…”

Entah bagaimana, nafsuku kembali berkobar. Batang kemaluanku yang
tadinya mulai agak kendor karena aku ketakutan, kini kembali menegang
keras. Tante Ning kegirangan, mukaku diciuminya dengan gemas. Pinggulnya
bergerak-gerak sementara tangan kirinya terus menuntun batang
kemaluanku memasuki vaginanya. Uhhh, nikmat luar biasa. Aku menggigit
bibir. Sleeeppp… terasa batang kemaluanku melesak semakin dalam. Inci
demi inci, sampai akhirnya masuk semua. Tante Ning merintih pelan
menyebut namaku, “Ivvvaaaannnn…..”

Tanteku yang manis itu mulai menggoyang-goyangkan pinggulnya. Maju,
mundur, kiri, kanan, berputar-putar. Nikmatnya sungguh tidak terkatakan.
Batang penisku serasa disedot dan dipelintir-pelintir. Aku belum pernah
merasakan surga dunia senikmat itu, maka aku tidak tahan. Baru beberapa
goyangan, tanpa dapat kucegah sedetikpun, aku “muncrat”. Air maniku
menyembur-nyembur entar berapa kali, menyirami vagina Tante Ning yang
kurasakan berkedut-kedut. Itulah untuk pertama kalinya aku mencapai
orgasme yang sesungguhnya, setelah sekian lama aku hanya dapat
merasakannya dengan “ngocok” di kamar mandi.

Aku tidak tahu bagaimana perasaan Tante Ning waktu itu. Aku juga belum
mengerti bahwa waktu itu dia sangat kecewa karena birahinya tidak
mencapai puncak. Yang jelas, kami sama-sama terdiam untuk beberapa saat.
Perasaanku tidak karuan. Menyesal, takut, malu, campur aduk jadi satu.

Tiba-tiba Tante Ning menangis sesenggukan. Aku jadi semakin tidak enak
hati. Dengan sok gentle, aku memeluk tubuhnya yang telanjang dari
belakang. Aku meminta maaf dan berusaha membujuk. Tapi kata Tante Ning,
dia justru malu telah menjerumuskan aku.

“Tapi aku nggak nyesel kok, Tante…,” kataku. Tante Ning memalingkan
mukanya menatapku. “Betul?” tanyanya. Aku mengangguk. Entah kenapa,
tahu-tahu “anu”ku berdiri lagi. Kulihat muka Tante Ning memerah, dia
pasti dapat merasakan karena batang penisku yang menegang itu menempel
rapat pada pantatnya. Dia lalu membalikkan tubuhnya dan kami berpelukan.
Entah siapa yang memulai, kami lalu berciuman bibir. Nafsuku
berkobar-kobar lagi.

Tante Ning mengajakku masuk ke kamar. Dengan tubuh bugil, kami
berangkulan menuju kamar Tante Ning di belakang. Tiba di sana, Tante
Ning rebah duluan di atas ranjang. Aku menyusul. Dua-tiga kali Tante
Ning masih bertanya lagi, apakah betul aku tidak menyesal dan tidak
menganggapnya sebagai perempuan murahan. Lalu kami berciuman bibir, lama
dan penuh nafsu. Kurasakan batang kemaluanku sudah luar biasa keras,
aku siap untuk meniduri tanteku sekali lagi. Tapi kata Tante Ning, kali
ini aku harus sabar. Aku harus bisa membuat Tante Ning mencapai puncak
kenikmatan seperti yang tadi kualami. Maka, dia mengajariku segala macam
teknik merangsang birahi perempuan.

Dimulai dari berciuman. Dia mengajariku cara-cara memainkan mulut dan
lidah. Setelah kuikuti, ternyata memang lebih enak. Lalu dia menyuruhku
menciumi lehernya. Aku berhasil membuat sebuah cupangan, tapi Tante Ning
lekas-lekas mengingatkan bahwa cupangan di leher akan mudah ketahuan
orang. Maka, dia minta aku mencupang toketnya. Tanpa diminta pun, aku
akan dengan senang hati melakukan itu. Toketnya itu luar biasa bagus.
Putih, besar, bulat, kencang dan padat. Aku mencium dan meremas-remas
seperti tanpa rasa puas. Dan aku jadi tambah bernafsu karena perbuatanku
itu membuat Tante Ning menggelepar-gelepar keenakan. Dia bahkan jadi
seperti tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Mulutnya mulai
mengeluarkan kata-kata jorok, di tengah-tengah desahan dan rintihannya.

Aku sebenarnya sudah sangat tidak sabar, ingin segera memasukkan
senjataku lagi ke dalam lubang surgawi Tante Ning. Tapi Tante Ning belum
memberi isyarat untuk itu. Dia malah memintaku mencumbui
selangkangannya dulu.

“Sini, Sayang…, ciumin ini Tante …,” pintanya sambil berbaring telentang dan membuka kedua belah pahanya lebar-lebar.

Tanpa membuang waktu lagi, aku terus menyerudukkan mulutku pada celah
vagina Tante Ning yang merekah minta diterkam. Benar-benat lezat. Vagina
Tante Ning mulai kulumat-lumat tanpa karuan lagi, sedangkan lidahku
menjilat-jilat deras seluruh bagian liang vaginanya yang telah dibanjiri
lendir. Berulangkali kugelitik kelentitnya dengan ujung lidah sambil
kukenyot dalam-dalam. Rambut kemaluan Tante Ning lebat dan rindang.
Cupangan merah pun kucap pada seluruh bagian daging vagina Tante Ning
yang menggairahkan ini. Tante Ning hanya menggerinjal-gerinjal kegelian
dan sangat senang sekali nampaknya. Kulirik tadi, Tante Ning
terus-menerus melakukan remasan pada buah dadanya sendiri sambil
sesekali memelintir puting-putingnya. Berulang kali mulutnya
mendesah-desah dan menjerit kecil saat mulutku menciumi mulut vaginanya
dan menarik-narik daging kelentitnya.

“Ooohhhhh, Ivvvaaannn…, enak banget, Sayaaang… Teruuss…., teruuuuussssss….. Please…, yaaaahhhhhh “

Beberapa menit kemudian, aku merayap lembut menuju perut Tante Ning, dan
terus merapat di seluruh bagian buah dadanya. Dengan ganas aku
menyedot-nyedot puting payudaranya yang kini mengeras dan membengkak.
Kembali kubuat beberapa cupangan di buah dadanya. Berulang kali jemariku
memilin-milin gemas puting-puting susu Tante Ning secara bergantian,
kiri dan kanan. Aku kini benar-benar tidak tahan lagi untuk menyetubuhi
Tanteku. Tanpa menunggu komando dari Tante Ning, aku membimbing masuk
batang kemaluanku pada liang vaginanya.

Tapi Tante Ning masih sempat mengubah posisi. Seperti yang pertama,
kembali dia berada di atas. Ternyata itu memang disengaja oleh Tante
Ning karena posisi begitu lebih menguntungkan aku. Aku jadi lebih tahan,
sebaliknya Tante Ning akan cepat mencapai orgasme.

Benar saja. Tante Ning langsung menggenjot cepat karena rupanya dia
sudah sangat keenakan dan hampir mencapai puncak. Aku menelentang saja
sembari meremas-remas toket montoknya yang bergelantungan
terkontal-kantil. Sesekali aku mengangkat pantat mengikuti komando Tante
Ning. Tidak begitu lama, Tante Ning mengajakku segera membalik posisi.

“Ooouhkk.. yeaaah… ayoo.. ayooo… genjot Vaaannn..!” teriak Tante
Ning saat merasakan batang kejantananku mulai menikam-nikam liar
vaginanya. Dalam posisi di atas, gerakanku lebih leluasa. Aku semakin
meningkatkan irama keluar masuk batang kemaluanku. Tante Ning hanya
berpegangan pada kedua tanganku yang terus meremas-remas sepasang buah
dadanya. Kedua kakinya mengangkang lebar, pinggulnya terangkat-angkat
seirama dengan hunjaman batang kemaluanku.

“Blesep… sleeep… blesep..!” suara senggama yang sangat indah
mengiringi dengan alunan lembut. Tante Ning mendesah, mengerang, dan
merintih-rintih.

“Aaaarghh…, enak sekali, Ivaaannnn….., Tante suka kontol kamuhhh… Terus,
Sayaaang…, teruuuussssss….., ssssshhhhhh….., aaaaarrggghhhhh….”

Aku semakin bersemangat, kusodok-sodokkan batang penisku semakin kuat
dan cepat. Itulah nikmat bersetubuh yang pertama kali kurasakan. Aku
masih belum bisa bertahan lama saking enaknya. Hanya beberapa menit,
puncak klimaks itu kucapai dengan sangat sempurna, “Creeet… crooot…
creeet..!”

Pada saat hampir bersamaan, tubuh Tante Ning mengejang, pinggulnya terangkat tinggi-tinggi.

“Oooorrrrgghh.. sssssshhhhh… aaarrrgghhhh..,” seru Tante Ning
menggelepar-gelepar ketika menggapai puncak kenikmatannya.
“Tanteeehhh.…….” “Oooohhhh, Ivaann…. Teken terus, Vaan, Tante masih
enak…, teken terus, yaahhh…” “Ivan kayak mimpi, Tante….,” bisikku polos.
“Hm-mm, Tante juga, mimpi di surga… Peluk Tante, Sayang…”

Selanjutnya, dengan batang kemaluan yang masih tetap menancap erat pada
vagina Tante Ning, aku jatuh tertidur. Tante Ning juga. Kami baru
terbangun ketika si Mbok pulang dari pasar.

Proudly powered by WordPress