Nyai Ratni

Sampai di sini saja perjumpaan kita, wassalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh,” suara merdu ummahat berkacamata yang tetap tampak manis di
umurnya yang kian senja itu mengmasiri sebuah program kuliah subuh di
salah satu stasiun radio swasta. Sembari tersenyum kepada operator sound
di hadapannya, ia pun melepas headset yang membelit bagian atas dari
jilbab kuningnya. Sembari membetulkan sedikit posisi kacamata minusnya,
wanita setengah baya yang usia 49 tahun itu pun menggapit tas tangan
kulit dengan tangan kanannya dan kemudian berjalan menuju pintu keluar.
Sebelum keluar, sang operator sempat memajukan tangannya untuk mengajak
ustadzah itu bersalaman. Ustadzah itu pun menyambut tangan sang operator
tanpa menyentuhnya sedikitpun sambil tetap menundukkan pandangan dan
bergumam, “Assalamualaikum.” Tapi hal itu sudah cukup membuat sang
operator menelan ludahnya karena terpana akan keindahan gundukan kembar
di dada sang ustadzah yang sekilas tercetak di jubahnya ketika ia
menunduk.

Baru saja keluar ruang siaran, sang ustadzah berkacamata itu langsung
disambut oleh seorang laki-laki berjanggut tipis yang berumur sekitar 27
tahun. Tubuhnya begitu kekar dan tegap dibalut baju koko hijau muda,
peci putih, dan celana panjang hitam dari bahan kain. Hidungnya yang
mancung dan tulang pipinya yang kokoh memperkuat aura keshalihan dan
kelelakiannya yang pasti menarik setiap wanita yang melihatnya termasuk
ummahat berjilbab panjang di hadapannya yang tengah berdesir sedikit
darahnya berhadapan dengan ikhwan yang jelas lebih tampan, lebih tegap,
dan lebih muda dari suminya kini. “Assalamualaikum, Nyi,” ujar lelaki
itu membuka suara.

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, apa kabar mas Tatang?” Jawab sang ustadzah yang baru selesai siaran itu.

“Alhamdulillah ana bi khoir, Nyi. Saya baik-baik saja. Bagaimana tadi
siarannya?” Lelaki tampan yang ternyata bernama Tatang itu sengaja atau
tidak kian mendekat ke tubuh mungil lawan bicaranya yang tampak begitu
alim dan lembut itu.

Jantung sang ustadzah itu berdetak lebih kencang dari keadaan normal
menyadari gerakan ikhwan tersebut, wajahnya kian tertunduk, walau tanpa
bisa dipungkiri, ketampanan dan aura kejantanan yang terpampang jelas di
wajah Tatang membuatnya tak bisa menahan diri untuk mencuri-curi
pandang pada Tatang, “Aa…aall…alhamdulillah, lancar-lancar saja masi.”
Ia pun sampai tergagap-gagap karenanya.

“Krriiiing….krriiiing….,” sebuah bunyi dari handphone di kantong sang
ustadzah pun menetralisiri situasi yang hampir tak terkendali itu,
sampai-sampai sang ustadzah itu pun menghela nafas panjang saking
leganya. Ia merasa Allah telah menyelamatkannya dari hawa nafsu yang
hampir tak bisa ditahannya itu. Ia bergeser dan sedikit berpaling ke
sebelah kanan,”sebentar ya, mas.”

“Iya, Tafadhol. Silahkan, Nyaii.”

“Assalamualaikum,” ujar sang ustadzah memberi salam pada lewan bicaranya di telepon yang telah amat dikenalnya.

“Waalaikumsalam, Ibu. Habis siaran ya? Kapan kamu kembali ke Bandung?”
Tanya seorang lelaki dengan logat sunda-nya yang khas di ujung telepon.

“Hmm…kayaknya baru malam ini, A. Nanti mau ke rumah Ummu Abdillah dulu
di Radio Dalam. Memang ada apa A? Kapan pulang?” Jawab ustadzah tersebut
dengan suara yang sedikit dilembut-lembutkan karena lawan bicaranya itu
adalah sang suami tercinta. Namun itu sudah cukup membuat Tatang yang
tanpa ia sadari terus memandangi wajah putih sendunya yang beitu
mempesona sedikit bergetar imannya. Sebagai lelaki, Tatang pun tak bisa
bohong bahwa ummahat di hadapannya masih terlihat menarik walau telah
memiliki beberapa orang anak.

“Nggak ada apa-apa kok, tapi kayaknya Aa sama Rini bakal lebih lama di
sini. Masih banyak yang harus diselesaikan. Jadi tolong jaga anak-anak
ya, nggak apa-apa kan, teteh?” Lelaki yang dipanggil Aa tadi
menjelaskan.

Walau hatinya sedikit perih, namun ia memaksakan diri untuk menjawab
pertanyaan itu sekenanya, “Owh, nggak apa-apa kok, A. Ratni nggak
apa-apa di sini. Biar Ratni yang urus anak-anak. Ya sudah, A, lagi buru
buru, assalamualaikum.” Ustadzah yang ternyata bernama Ratni itu
langsung menutup telepon tanpa basa-basi lagi.

Ya, ustadzah yang baru saja siaran itu adalah Teh Ratni, istri pertama
seorang Kiyai yang alim dan begitu cantik. Saat ini, Sang Suami tengah
berada di Surabaya bersama Rini, istri kedua-nya, guna suatu urusan
dakwah. Dan baru saja suaminya itu menelepon karena urusan itu menuntut
tambahan waktu. Walau ia sudah berusaha untuk ikhlas, namun Teh Ratni
hanyalah seorang wanita biasa yang punya rasa cemburu dan butuh
perhatian. Sudah satu bulan Suaminya berada di Surabaya bersama Rini,
madunya itu. Dan selama sebulan pula Ibu Ratni terlarut dalam
kesendirian. Tak hanya fisiknya yang lelah, batinnya pun lelah, rindu
belaian mesra sang suami yang dicintainya.

Seperti tahu benar hal itu, Tatang kembali menggeserkan tubuhnya
mendekati Teh Ratni. Dengan penuh aura kelelakian, ia pun membisiki
telinga kiri Bu Ratni,” Nyai keliatan capek, istirahat saja dulu di
ruangan saya, sebentar saja.”

Bagaikan tersihir, Bu Ratni pun menganggukkan kepalanya dengan anggun.
Ummahat yang begitu indah dipandang inipun menggoyang-goyangkan
bongkahan pantatnya yang tercetak jelas di bagian belakang jubah
putihnya mengikuti Tatang. Goyangan yang sedikit erotis dan
menggairahkan itu sudah pasti mampu menggugah iman setiap lelaki yang
memandangnya. Walau telah beberapa kali melahirkan anak lewat vaginanya
yang mungil nan imut, tubuh Nyai Ratni tetap terlihat seksi dan
menggairahkan. Ia adalah sosok perempuan sunda yang mampu menjaga bentuk
tubuhnya walau telah termakan usia. Walau telah berusaha menutup diri
dengan jubah dan jilbab panjang berwarna kuning, tonjolan payudara Nyai
Ratni yang alim dan shalihah ini dapat kita lihat jelas, begitu montok
dan berisi, mengundang setiap insan untuk meremas-remasnya. Apalagi pagi
ini ia memakai jubah yang lebih ketat dari biasanya.

Begitu melihat Tatang memasuki sebuah ruangan, Nyai Ratni pun berhenti
sejenak. Sesaat ia membaca papan nama di depan ruangan tersebut, “Tatang
Zaidi, Kepala Divisi Da’wah dan Syari’at Islam.” Dengan perasaan
tenang, karena yakin Tatang yang baru dikenalnya di stasiun radio ini
sejak sebulan yang lalu itu adalah seorang ikhwan yang baik-baik, Nyai
Ratni pun memasuki ruangan yang hanya berukuran 6 x 4 meter itu. Tanpa
disuruh, Nyai Ratni langsung duduk di sofa yang berada di dekat pintu.
Seperti kata Tatang tadi, Nyai Ratni memang sedang lelah. Tak hanya
lelah fisik, tapi juga lelah batinnya.

“Nyai Ratni Mau minum apa?” tanya Tatang berbasa-basi sambil berjalan menuju dispenser. “Teh manis, mau?”

“Boleh, mas. Gulanya sedikit saja ya,” ujar Nyai Ratni sambil meletakkan
tas tangannya di atas meja kaca di depannya. Ia tak merasa canggung
sedikitpun. Walaupun ia hanya berdua saja dengan seorang lelaki yang
notabene bukan mahromnya di ruangan itu, namun pintu ruangan itu
dibiarkan terbuka oleh Tatang. Ia pun semakin yakin bahwa Tatang tak
akan berbuat macam-macam pada dirinya.

Tatang segera pergi ke dapur mengambil minuman segar agar tamu
istimewanya ini tak menunggu terlalu lama, Tatang langsung saja
membawakan cangkir putih berisikan teh manis itu dan meletakkannya di
depan ummahat berparas manis nan berbodi indah itu. “Silahkan teh
manisnya, Nyi.”

“Iya, syukron ya mas. Terima Kasih,” ujar Bu Ratni. Ia langsung meraih
pegangan cangkir yang dihidangkan di hadapannya itu sembari menyeruput
perlahan teh manis yang begitu nikmat itu dengan bibirnya yang mungil
dan berwarna merah muda. Sedikit demi sedikit, Ibu Ratni menghabiskan
teh manis yang terasa begitu lezat di permukaan lidahnya itu. Ia rasakan
tubuhnya terasa panas seketika dan sedikit bergetar, namun ia
membiarkannya. Mungkin hanya sedikit efek hangat dari teh manis ini,
pikir Bu Ratni.

“Ada apa, Nyi. Kok kelihatannya gelisah begitu?” Bu Ratni mulai
menyadari kalau ini bukan sekedar efek hangat dari teh manis biasa.
Tatang pasti telah mencampurkan sesuatu ke dalam minumannya tadi. Kurang
ajar sekali ikhwan ini, pikirnya. Tubuhnya mulai berkeringat. Sekujur
tubuhnya terasa lemas dan kelopak matanya begitu berat. Dengan mata
setengah menutup, ia menggaruk-garuk kecil pundak kirinya dengan tangan
kanannya yang lentik karena terasa sedikit gatal. Untuk mengurangi rasa
kantuk yang menerpa, Bu Ratni mencoba mengalihkan pandangan pada jam
yang ada pada dinding di belakangnya., namun usahanya itu tidak
membuahkan hasil.

“Tidak, tidak apa-apa kok mas Tatang,” Tatang yang jauh lebih muda itu
kini menyadari bahwa istri pertama Ustadz Haji Maulana itu telah masuk
dalam jebakannya dan sebentar lai akan memasrahkan tubuh molek nan
sintal miliknya untuk digagahi Tatang dengan penuh keikhlasan. Tatang
pun semakin tak sabar dan segera mengambil tempat di sebelah kiri Nyai
Ratni. Ia genggam tangan kiri Bu Ratni yang halus dengan tangan kanannya
yang cukup kasar. Sementara itu tangan kirinya mulai melakukan serangan
fajar dengan mengelus-elus pipi sebelah kanan Bu Ratni yang lembut
bukan main dan penuh aroma kewanitaan. Ia hadapkan wajah ummahat manis
berjilbab yang tengah berjuang melawan sensasi aneh yang disebabkan teh
manis ajaib buatan Tatang tadi agar menghadap ke wajahnya. Ditatapnya
mata yang tengah berpendar di balik kaca mata itu dengan penuh
kemesraan.

“mas…..Tatang. Jangan ya, kita kan bukan mahrom. Lagipula nanti kalau
ketahuan orang bagaimana?” Tatang tak menganggap itu sebagai penolakan.
Bu Ratni tak sedikitpun menarik telapak tangan kirinya yang tengah
diremas-remas penuh nafsu oleh tangan kanan Tatang, lagipula Bu Ratni
mengucapkannya dengan sedikit berbisik, penuh kelembutan dan keteduhan
bagai berbicara pada suaminya sendiri. Dan ketika Tatang menarik lembut
kepalanya agar wajah mereka mendekat, Bu Ratni pun tak berpaling atau
berontak sedikitpun. Ia mulai menikmati sensasi seksual yang begitu
nikmat menggerayangi tubuhnya. Apalagi sudah sekitar 2 minggu suaminya
tak sekali pun menyentuhnya. Sebelum Aa berangkat ke Surabaya, ia sedang
dalam keadaan haidh sehingga tak bisa digauli. Baru kemarin darah
haidhnya berhenti. Dengan kata lain, saat ini Bu Ratni sedang dalam masa
subur sehingga membuat birahinya begitu meledak-ledak.

“Tenang saja, Bu. Tatang nggak akan nyakitin Nyai. Tatang cuma mau
ngasih Nyai kenikmatan yang nggak akan pernah lupa. Lagipula, nggak akan
ada yang melihat kita di sini.” Kini bibir dua insan yang bukan mahrom
ini hanya berjarak sekitar 2 cm. Ratni pun telah memejamkan matanya
sebagai tanda kepasrahan dirinya akan apa yang bakal terjadi setelah
ini. Walaupun telah beristri dan mempunyai 2 orang anak, Tatang tak
pernah menghilangkan sosok ummahat bertubuh bahenol asal sunda yang
sering mengisi imajinasi liarnya ketika bermasturbasi. Kini, langsung di
hadapannya, telah terdiam seorang ummahat berjilbab kuning dan berjubah
putih idamannya itu sedangkan ia sendiri memakai baju koko hijau muda
lengkap dengan peci putihnya sebagai tanda kealiman dan keshalihan
keduanya. Namun kini sang maswat dengan nakalnya telah memejamkan mata
dan sang ikhwan pun tengah asyik meremas-remsa tangan sang maswat dengan
syahwat membara. Tanpa terasa keduanya telah berada di tepi jurang
perzinahan.

Melihat Nyai Ratni yang tak memberikan sedikitpun perlawanan dan malah
telah begitu pasrah pada keperkasaan dirinya, Tatang pu mengambil
inisiatif.Sedikit demi sedikit ia menarik wajah Nyai Ratni ke wajahnya
dan…hmmm…hhmmmch…..hhmmmmpff…bibir seksi nan indah seorang Nyai Ratni
telah bersarang di bibirTatang. Tatang pun tak tinggal diam, dibelahnya
sedikit demi sedikitbibir ummahat yang juga merupakan ustadzah terkenal
itu dengan mendorong lidahnya yang kasar dan hangat. Tanpa kesulitan
berarti, di mana Nyai Ratni pun telah begitu terangsang oleh tatapan
birahi Tatang dan gairahnya sendiri yang sedang berada di puncak, lidah
Ahmda telah mampu menembus rongga mulut Ratni yang alim itu. Tak lama
kemudian, kedua anak Adam yang terkenal dengan keshalihannya itu telah
saling hisap bibir pasangannya diiringi pergulatan lidah di dalamnya
yang begitu seru dan basah. Entah karena reflek atau memang disengaja,
tangan Nyai Ratni ganti merangkul Tatang hingga keduanya larut dalam
pusaran syahwat yang begitu menggairahkan.

Sebagai catatan, selama berbagai aktivitas itu terjadi, pintu ruangan
Tatang, tempat semua kemesuman itu terjadi, sama sekali tidak tertutup.
Pintu itu terbuka lebar, sehingga orang-orang yang berjalan dekat
ruangan itu pasti bisa melihat segalanya. Karena itu, Tatang berusaha
membuat suara sesedikit mungkin. Namun untungnya, ruangan Tatang berada
di ujung sebelah barat kantor radio tersebut, sedikit terpisah dengan
ruangan kantor yang lain. Sehingga suara dari ruangan Tatang tak akan
bisa terdengar dari luar atau bahkan tertelan hiruk-pikuk kesibukan
kantor di pagi hari. Ditambah lagi ruangan Tatang juga dilapisi dengan
peredam suara karena ia sering mengedit siaran radio di ruangan
tersebut.

‘Masya Allah….”, guman Tatang. Dalam hati Tatang sangat kagum dengan
ulah ustazah ini. Tanpa disangka sama sekali oleh Tatang, Nyai Ratni
bergerak begitu aktif. Tampaknya Nyai Ratni telah begitu kuat menahan
gairah seksualnya selama ini sehingga terasa bagaikan bom waktu yang
menggemparkan ketika akan dilepaskan. Bibir dan lidah ustadzah kondang
yang pernah dinobatkan sebagai ibu teladan itu silih berganti memagut,
memberi kenikmatan erotik pada bibir lelaki beristri di hadapannya.
Tampak keduanya tak lagi mengingat status dan kedudukan diri mereka
masing-masing. Keduanya telah hanyut dalam gelombang syahwat yang
menenggelamkan hasrat mereka berdua dalam lautan birahi kebinalan.
Tatang yang merasa lebih berpengalaman membalas dengan tenang pagutan
ummahat berjubah putih itu, dijulurkannya lidahnya bagai anjing
kelaparan agar segera dihisap oleh ummahat di hadapannya
itu,”hmmmm…hmmmm….hhmmppph….hhhmmmmpppf.”

“Duuh, Teteh. Kontol Tatang jadi tegang neh. Tetek Nyai merangsang
banget, bikin horny. Boleh gak Tatang pegang, sedikit saja?” Tatang
mulai menunjukkan niatnya secara terang-terangan. Ia mencoba memancing
libido yang selalu tersimpan rapat-rapat dalam diri seorang ibu shalihah
yang tengah memagut liar bibirnya itu.

Entah setan apa yang tengah beraksi, atau memang dorongan seksual ini
begitu kuat. Nafas Nyai Ratni mulai tak beraturan dan jantungnya pun
berdetak lebih kencang dari kecepatan normal. asa kantuk yang tadi
menderanya, berubah menjadi keinginan untuk memasrahkan diri secara
total kepada lelaki muda yang begitu tampan di depannya. Dengan lembut
dan sedikit bergetar, ia ucapkan dengan pasti, “Iya Mas….Pegang aja
tetek Nyai Ratni, lakukan sesuka kamu…”

Mendengar kata-kata penuh penyerahan diri seutuhnya dari seorang
ustadzah yang mulai mendesah-desah tak karuan itu, tubuh Tatang pun
semakin panas. Tangan kirinya mulai menyelusup masuk ke balik jilbab
panjang Nyai Ratni. Ia meraba-raba peyudara suci nan terawat milik
ustadzah cantik itu secara perlahan. Ia ingin membuat Ratni merasakan
sendiri getaran syahwat yang menggebu-gebu setelah bagian sensitifnya
ini jatuh ke tangan Tatang. Benarlah, sesaat kemudian, desahan-desahan
pelan diselingi erangan binal meluncur di antara bibir sang isteri
Ustadz itu, “ssshh…akkhhhh….maasssshhh…mas Tatang, enak masssshh….!!”

“Iya ku sayang, Tatang tahu. Pintunya Tatang tutup dulu ya, biar kita
tambah bebas.” Ratni tak langsung menjawab, bibirnya kelu dan hanya
kembali memagut bibir Tatang untuk meredakan gairahnya. Namun sebuah
cubitan nakal di tangan kanan Tatang-lah yang kemudian menjadi lampu
hijau bagi Tatang. Ia pun melepaskan kulumannya pada bibir Nyai Ratni
yang nampak sedikit kecewa karenanya.

Dengan jantannya, Tatang pun merebahnkan ustadzah yang sudah horny itu
di atas sofa. Ukuran sofa yang kecil memaksa kaki Nyai Ratni tidak bisa
selonjor dengan penuh namun sedikit naik karena tertopang pegangan sofa
di seberang. Dalam keadaan tubuh ‘siap entot’ itu, Tatang meninggalkan
ummahat seksi itu sesaat. Ia berjalan ke arah pintu ruangan dan menutup
serta menguncinya. “Cklik…” bunyi itu seraya menandakan telah
terkuncinya iman kedua insan yang sebenarnya telah mempunyai pasangan
masing-masing ini, dan tinggallah nafsu syaithan yang menjadi hakim di
ruangan itu.

Tatang pun kembali mendatangi sang bidadari surga pujaan hatinya yang
telah terkapar menahan birahi di atas sofa. Subhanallah, gumamnya dalam
hati. Tanpa dinyana pula, bidadari berjilbab itu mendesah dengan
binalnya, “Mas Tatang, sini dong!” Nyai Ratni yang manis itu telah
membuka jalan bagi imaji liar Tatang dengan desahan lembut menggemaskan
yang pasti merangsang birahi setiap pria yang mendengarnya. Tatang
langsung melepas kancing baju kokonya dari atas ke bawah satu per satu.
Sesaat kemudian, tubuh tegap laksana anggota TNI itu telah terpampang
jelas di depan Nyai Ratni yang tengah membuncah nafsunya hingga memaksa
ummahat itu menelan dalam-dalam ludahnya, “Mas Tatang…tubuh kamu seksi
banget. Nyai Ratni jadi nggak tahan…”

Komentar binal seorang ustadzah terkenal itu membuat syahwat Tatang
menggelegak. Ia langsung berlutut di sisi kaki Nyai Ratni yang penuh
kepasrahan hati menelantangkan tubuh sintal khas sundanya si atas sofa.
Tatang lepaskan sepatu hitam yang melekat di kaki isteri Ustadz besar
itu, dan mengendus-endus bau kaki yang menyengat nan menggairahkan di
kaos kaki Ratni. Ia tanggalkan kaos kaki berwarna krem itu dan langsung
mencaplok jemari kaki Ratni yang lentik dengan mulutnya.

Nyai Ratni sampai terkaget-kaget dibuatnya. Tak pernah sekalipun
suaminya yang shalih itu memanjakan birahinya seperti ini. Suaminya
hanya menganggap bersenggama adalah cukup dengan memasukkan kontol ke
dalam memek wanita, dan setelah itu selesai. Mungkin ulama besar seperti
beliau menganggap foreplay atau pemanasan seksual seperti ini hanya
membuang-buang waktu belaka. Padahal Teh Ratni dan Teh Rini pun hanya
wanita biasa yang butuh sensasi-sensasi baru dalam kehidupan seksual
mereka. Uups, Teh Rini? ya, Teh Rini pun begitu haus akan
rangsangan-rangsangan nakal seperti ini. Insya Allah nanti saya akan
ceritakan kisahnya.

Dan saat ini, seorang ikhwan yang telah mempunyai isteri dan anak,
bertubuh tegap, macho, dan berwajah rupawan sedang berlutut di bawah
kaki Nyai Ratni dan menjilat-jilat serta menghisap-hisap jari-jemarinya
yang indah. Hal itu seolah menghapuskan rasa dahaga Nyai Ratni akan
aktivitas seksual yang sedikit di luar kebiasaan. Tanpa terasa, vagina
suci miliknya telah berdenyut-denyut kecil dan terlontar desahan dan
erangan penuh luapan syahwat dari bibir indahnya, “Ssaaa…aakkkhhhh…Mas
Tatang, enak sekali kulumanmu….,”

Nyai Ratni pun bertekad akan menundukkan diri sehina mungkin di depan
lelaki yang telah bangkitkan gairah masa mudanya yang haus akan seks.

Tanpa terasa, Tatang telah mengangkangi tubuh mungil istri idaman itu di
atas sofa. Ia telah menyingkapkan jubah putih Nyai Ratni hingga
pinggang. Kini paha mulus dan berisi serta betis yang membujur indah
yang selalu dijaga dari pandangan orang itu telah terekspos bebas dan
telah dibanjiri air liur bekas jilatan Tatang. Ya, Tatang telah selesai
menyapu bersih sepasang paha dan betis indah seorang Nyai Ratni, isteri
Ustadz Haji yang selama ini hanya ada dalam lamunan joroknya dan
menghisap sejumlah besar air maninya yang habis ketika bermasturbasi
menkhayalkan bersetubuh dengan maswat itu.

“Nyai kepanasan ya? Tatang lepas aja ya jubahnya…” Nyai Ratni tidak
segera menjawab. Ia hanya memejamkan matanya sambil berdehem ringan yang
langsung diartikan Tatang sebagai izin. Dalam hati wanita sholehah itu
tersadar akan dosa dan zina yag ia lakukan.

Bagaikan terkejut, seolahia diingatkan akan dosa zina ini. Sesaat ia diam dan beristighfar.

“Astaghfirullah…Astaghfirullah… ia memohon ampun atas dosa ini. Hanya sedetikia tersadar dari dosa ini.
Karena desakan syahwat yang melanda dirinya tak mampu dilawannya. Ia tak
sanggup menahan amuk birahi yang melanda. Ia pun kembali larut dalam
perzinaan yang nikmat dan syahdu.

Dalam sekejap, jubah putih ummahat itu telah tergeletak di atas lantai
meninggalkan pemiliknya tanpa busana, hanya jilbab kuning, bra putih dan
celana dalam putih berenda yang tersisa menutupi tubuh indah Nyai
Ratni. “Nyai, tubuh Nyai indah banget, putih, mulus, beda banget sama
punya isteri saya. Memek Nyai juga pasti lebih indah dan lebih legit!”

“mas…Tatang, malu neh. Jilbabnya gak dilepas sekalian?” Nyai Ratni mulai
membuka mata dan membalas perkataan-perkataan cabul Tatang.

“Nggak usah, Nyai. Tatang lebih suka Nyai pakai jilbab itu. Lebih cantik
dan lebih anggun. Jadi lebih semangat buat merasakan manisnya tubuh
ustadzah kayak Nyai.”

“Panggil aku Nyai saja ya Tatang. Mau kan”

“Iya deh, Nyaii sayang. Kamu kok binal banget sih. maswat binal kayak
kamu tuh cocoknya dientot tiap hari sama kontol gede ku. Ya, masirnya
sang ustazah itupun kehilangan sifat-sifatnya yang santun dan alim.
maswat sunda itu telah menjelma sebagai maswat binal dan sundal (bukan
sunda lagi).

Ruangan sempit itu, juga busana muslimah Nyai Rini yang telah berserakan
di lantai semua telah terjadi. Seolah busana muslimah yang sehari-hari
dipakai sang ustazah itu menjadi saksi atas perzinaan pemiliknya. Begitu
juga jilbab yang masih dipakai Nyai Ratni, seakan menjadi saksi bisu
atas perbuatan dosa ini.

Mau lihat kontol Tatang gak? Banyak bulunya lho…” Kata-kata cabul Tatang
membuat Nyai Ratni tambah terangsang. Ia tak memperdulikan lagi bahwa
Tatang adalah suami orang.

“Mas Tatang….Mau dunk. Kasih lihat kontol kamu sama Nyai dong.”

“Apa Nyai? Tatang nggak denger. Coba ulangi lagi?” Tatang pun memancing
rasa penasaran ummahat yang sudah setengah telanjang itu dengan
menyodorkan daun telinga sebelah kanannya. Syahwat Nyai Ratni pun makin
berkobar melihat tingkah Tatang yang seperti mempermainkan dirinya.

Dengan birahi terbakar dan siap meledak, Nyai Ratni meraih telinga
Tatang san berbisik lembut, “Tatang sayang….kasih liat dong kontol kamu
sama Nyai. Nanti Nyai kasih liat memek Nyai deh, mau ga? Nyai Ratni
merasa begitu terhina dengan tindakannya sendiri. Ia merasa harga
dirinya telah tercabik-cabik di depan ikhwan perkasa ini. Ia langsung
terkapar lemah sedangkan Tatang malah makin bersemangat mendengar
bisikan luapan syahwat ustadzah alim yang telah menunjukkan kebinalannya
itu telah ikhlas sepenuh hati merelakan bagian paling sensitif dan
paling suci miliknya untuk dijamah Tatang.

“Iya deh Nyai Sayang. Ini Tatang buka kejantanan Tatang, habis Nyai
maksa teruz sih” Tanpa butuh waktu lama, Tatang, sang suami shalih yang
merupakan kepala divisi dakwah di stasiun radio tersebut, telah
menelanjangi dirinya sendiri. Ia hadapkan kontolnya yang telah menegang
dan mengangguk-angguk seksi itu pada wajah ummahat shalihah di depannya.
Ia sorongkan seonggok daging berurat yang berdiameter 5 cm dan panjang
yang lebih dari 20 cm serta berkepala kemerahan bekas sunat itu pada
bibir Nyai Ratni.

Tatang tersenyum melihat Nyai Ratni yang terkagum-kagum melihat batang
kemaluannnya. Ustazah cantik itu menelan ludah, sementara kontol Tatang
menganggguk-angguk tepat di dekat wajah sang ustazah. Nyai Ratni
menjulurkan tangan menggapai batang perkasa itu…. dan….Tatang mendesis
sshhhh………
Nyai, bolehkah aku menyentuh memek Nyai ?
Tangan Tatang turun ke bawah meraih bawah perut Nyai Ratni, turun lagi,
dan mengusap-usap gundukan daging yang terletak di bawah perut sang
ustazah.

“Ya Allah….. Nyai Ratni……empuk sekali memek Nyai…”
Nyai Ratni yang masih mengenakan jilbab itu memejamkan mata menikmati usapan-usapan lembut di kemaluannya.

Cukup lama tangan Tatang bermain-main di kemaluan Nyai Ratni. Tangan
Tatang yang telah terlatih begitu lembut mengusap-usap daging empuk
aurat milik sang ustazah. Dibelai-belai, dan diremas secara ritmis nan
lembut, membuat Nyai Ratni tak mampu lagi bertahan.

Pertahanannya runtuh total. Iman nya pun jebol.
Kesetiaan yang selama ini menjadi pagar dirinyapun tak lagi diingatnya.
Seratus persen Nyai Ratni telah berniat menuntaskan perzinaan terlarang ini.

Di ruangan yang sempit itu, seorang muslimah suci telah melepaskan jubah putih sehingga
telanjang di hadapan seorang lelaki yang bukan suaminya. Hanya jilbab yang masih tersisa di kepalanya.
Dan sang lelaki bernama Tatang itu terus membangkitkan birahi sang
ustazah, terus mengusap dan membelai-belai daging empuk di bawah perut
Nyai Ratni. Tangannya masuk ke dalam celana putih berenda milik sang
ustazah. Dengan kelima jari yang seolah bekerja secara kompak, jari-jari
itu menggelitik setiap inci daging montok itu. Sementara si Nyai cantik
berjilbab itu merintih-rintih menahan nikmat.

maswat Sunda(l) itu telah menjadi maswat binal yang haus akan sex, dan
sang maswat cantikjelita itu telah bertekad untuk menuntaskan perzinaan
yang syahdu ini.

“Oh Nyai Ratni… oh Nyai.., memek kamu indah banget Nyai?” Tatang membisik

“Mas Tatang…oughh……..”, hanya desis lirih yang keluar dari mulut sang Ustazah cantik itu.
“Nyai Ratni… bolehkah kontolku mengentoti memekmu Nyai?”
“Ouhh…apa mas Tatang?”, nafsu birahi membuat Nyai Ratni tak begitu jelas mendengar kata-kata Tatang.
“Bolehkah kontolku mengentoti memek, Nyai?”, Tatang mengulang kalimatnya.
“Oh, iya mas Tatang, segera entoti aku…oh…mas entot memekku…oh entoti memekku ..”

Dan jilbab suci sang ustazah , menjadi saksi atas perzinaan itu. Begitu
pula dengan busana muslimah yang berserakan di lantai yang sedari tadi
lepas dari tubuhnya. Andaikan saja jubah putih yang tergolek dilantai
itu punya mata dan telinga, pasti bisa ikut menikmati persenggamaan dan
perzinaan yang sedang dan akan dilakukan oleh pemiliknya.

Nyai Ratni yang telah dimabuk birahi itu begitu penasaran akan sebatang
kontol yang mengangguk-angguk penuh nafsu di hadapannya. Ia pun mulai
mengelus-elus kontol yang telah begitu tegang itu dengan tangannya yang
lembut. Entah sadar atau tidak, tangan kanan Nyai Ratni bergerak dari
depan ke belakang berkali-kali dengan tempo sedang. Ini membuat semacam
kocokan yang makin membangkitkan gairah Tatang yang sudah telanjang
bulat.

Demi merasakan kocokan lembut ummahat berkacamata itu, Tatang semakin
ditenggelamkan oleh birahinya sendiri. Ia letakkan lututnya di atas sofa
dan memajukan penisnya yang begitu bergejolak sehingga menyentuh bibir
merah muda ustadzah shalihah itu. JIlbab kuning panjang Nyai Ratni
terlihat sedikit basah akibat keringat yang mulai mengucur sehingga
menampakkan dengan jelas body indahnya pada Tatang. “Ayo dong, Nyai
sayang….Masukin kontol Tatang ke dalam mulut indah Nyai. Tatang boleh
kan ngentotin mulut Nyai? Akkhhh… Ayo Nyai, gedean mana sih kontol
Tatang sama punya suami Nyai?” Gesekan-gesekan pergelangan tangan Nyai
Ratni di bulu kemaluan Tatang yang hitam, keriting, dan lebat itu
membuat Tatang gemetar bukan kepalang.

“Iya sayang…masukin aja kontol kamu ke mulut Nyai, Nyaii pengen banget
ngemut kontol kamu. Habisnya punya kamu jauh lebih besar dan lebih
panjang daripada punya suami Nyai.”

“Duh, kamu kok ngomongnya begitu sih Nyai….Kamu ustadzah dan ummahat
tapi omongannya kayak pelacur. Kontol aku kan bau banget.” Tatang
semakin puas menghina isteri pertama Ustadz kondang yang dipuja banyak
orang itu. Kata-kata kotor terus keluar dari bibir Tatang sementara
tangannya memegangi kepala Nyai Ratni yang terbungkus jilbab bagai
memegangi kepala PSk pinggir jalan.

“Nggak apa-apa Tatang sayang…Nyai suka kok kontol bau!” tanpa pikir
panjang lagi, Nyai Ratni langsng memasukkan kontol Tatang yang besar
bukan main dengan gerombolan urat di batangannya yang telah membiru ke
dalam mulutnya. Ia telan bulat-bulat kontol yang telah berlendir di
ujungnya itu, menunjukkan betapa terangsangnya pemiliknya.

“Terus Nyai…OOhhh, ternyata kamu doyan sama kontol gede ya?” Tatang
terus mendesah dan mengerang menikmati mulut dan lidah ummahat sekelas
Nyai Ratni yang sedang memanjakan kemaluannya. Sementara itu Nyai Ratni
pun tak bisa berbuat apa-apa saking asyiknya ia mengulum kejantanan pria
shalih di hadapannya. “OOhh, Nyai sayang…begini yoh rasanya ngentot
mulut Nyai.”

“Begitu panasnya permainan kedua insan ini, di mana Nyai Ratni tampak
begitu lihai mengoral penis Tatang sampai Tatang terheran-heran
karenanya. 10 menit kemudian, Tatang merasa gejolak nafsu di kontolnya
sudah tak tertahankan lagi. “Nyai lonteku…..mana janjimu tadi, katanya
mau kasih liat memek kamu!”

Seperti robot yang selalu menurut apa kata tuannya, Nyai Ratni langsung
memelorotkan celana dalamnya yang ternyata telah dibanjiri cairan
cintanya akibat rangsangan-rangsangan yang dilancarkan Tatang
betubi-tubi. Tak lupa ia tanggalkan pula bra putihnya hingga
bagian-bagian paling vital dan sensitif itu tersingkap sudah. “Tatang
sayang, Nyai udah telanjang neh…..Entotin Nyai ya, Nyai lagi horny
banget neh…”

Mendengar pengakuan jujur itu, darah Tatang langsung menggelegak.
Berarti pagi ini ia akan menikmati manisnya kemaluan seorang isteri yang
begitu alim ini lengkap dengan butir-butir ovum yang hangat, baru saja
matang, dan pastinya siap untuk dibuahi beteteh-beteteh sperma yang
begitu kental miliknya.

“Nyai, kamu mau aku hamilin…?” Bisik Tatang lembut di telinga Nyai Ratni.

Nyai Ratni pun menjawab tak kalah lembutnya, “Mau sayang…..entotin Nyai
sampai sampai puas kagak bakaln hamil.” Tatang langsung mengambil posisi
mengangkangi pinggul sang Nyai pujaannya. Ia singkap sedikit bulu
kemaluan ummahat yang cukup lebat itu karena belum sempat dicukurnya.
Dibelahnya sedikit demi sedikit memek suci nan harum itu hingga ia
melihat dengan jelas lapisan merah muda dengan butiran sebesar kacang
menggantung di atasnya. “Akkhh…Tatang, cepet masukin kontol kamu.
Entotin aja Nyai sepuasmu…”

Seperti tak ingin cepat mengmasiri kenikmatan ini begitu saja, Tatang
hanya mamarkir kepala kontolnya yang menggunung itu di sela-sela
rerumputan hitam yang menutupi gundukan bukit menggemaskan milik seorang
ustadzah terkenal itu. Sebagai gantinya, ia merapatkan dadanya ke
payudara Nyai Ratni dan menggesek-gesekkannya. Tak lupa payudara montok
dan kencang itu walau tak begitu besar ia remas-remas sambil sesekali
memelintir putingnya yang kecoklatan.

“Aakkkhhhh….Tatang sayang” Nyai Ratni serasa menenggak anggur merah
ketika diperlakukan seperti itu. Ia telah mabuk dalam kubangan nafsu
kebinatangan yang terlarang akibat birahinya sendiri. Tatang, yang
sekalipun shalih dan bertubuh tegap, namun tetap saja sebenarnya ia tak
boleh menikmati manis dan harum tubuh dan alat seksual ummahat itu.
Namun kini, Tatang tengah menumpahkan birahi jalangnya pada tubuh indah
nan seksi ummahat itu. Gilanya lagi, Nyai Ratni bukannya berontak atau
menghindar, namun ia malah mengizinkan bahkan memaksa Tatang untuk
berbuat cabul pada dirinya. Bahkan gesekan-gesekan kontol Tatang pada
bibir vaginanya membuatnya begitu tersiksa. Bagai kesetanan, Nyai Ratni
langsung memeluk tubuh Tatang yang mulai basah akan keringat erat-erat
dan mencakar-cakari punggung ikhwan perkasa itu, “Sialan kamu
Tatang….cepet masuki kontol kamu ke memek aku.
Entotinsayaaaaaaannnggg…..!”

“Duh, kok omongan Nyai kayak pelacur gini sih. Kamu kan ummahat shalihah, jilbab kamu aja panjang banget gini.”

“Iya aku pelacur sayang….aku perek jalang, aku budak seks kamu. Cepet
yang…..ayo ngentot sama Nyaii, genjoti memek Nyai keras-keras…”

Tak mau membiarkan bidadari berkacamata itu lebih tersiksa lagi, Tatang
pun menurunkan pinggulnya perlahan. Tanpa harus diperintah lagi, kepala
kontol yang cukup besar itu mulai beraksi membelah vagina yang telah
melahirkan beberapa orang anak itu. “Nyai…memek Nyai kok anget banget
sih. BEda sama punya isteri Tatang….Tatang suka banget memek Nyai,
OOOOhhhh…telen kontol Tatang dong pake memek Nyai.”

Entah kenapa Tatang kembali memanggil Nyai Ratni dengan sebutan Nyai.
Mungkin menurutnya, kata ‘Nyai’ terdengar lebih erotis daripada kata
‘Ratni’. Dan itu terbukti, Nyai Ratni yang semula sedikit pasif, kini
aktif kembali. Dengan kelamin yang sudah berkedut-kedut tak karuan, dan
daraf sensualnya yang terus berkontraksi, Nyai Ratni mulai
menghisap-hisap kontol Tatang yang berusaha menyeruak ke dalam rongga
vagina yang sebenarnya haram buatnya.Nyai Ratni pun kembali
mendesah-desah binal seolah memberi semangat pada Tatang untuk segera
menyetubuhinya. Setelah beberapa saat mengempot-negmpot kepala dan
batang kontol Tatang, Nyai Ratni pun dapat merasakan kejantanan yang
lebih besar daripada yang biasa ia layani sebelimnya itu menerobos masuk
ke dalam organ vitalnya.

“Akkhhh…Nyai….Tatang masuk, Nyai. Bismillahir Rahmannir
Rahiiiiiiiiiiiimmmmmm.” KOntol Tatang pun langsung amblas dalam
hangatnya rongga kelamin Nyai Ratni. “Nyai ikhlas kan saya entot?”

Nyai Ratni langsung menggeletar ketika merasakan sebatang penis dengan
kehangatan dan ukuran yang jauh berbeda dari milik suaminya tercinta,
memenuhi rongga memeknya. Rasa kenikmatan itu terus menjalar ke seluruh
tubuh, apalagi ketika Tatang menarik kontol yang begitu ia banggakan itu
disertai hentakan keras menekan dinding kemaluan suci itu setelahnya,
hingga si empunya sampai menggelinjang dan mengangkat dadanya
tinggi-tinggi. “Nyai ikhlas kok yang……Nyai ikhlas dientot sama kamu”
Tatang mulai melakukan kocokan erotis pada vagina mungil Nyai Ratni itu
berkali-kali hingga Nyai Ratni tak mampu membuka matanya saking
nikmatnya genjotan Tatang. Apalagi tak henti-hentinya Tatang
meremas-remas peyudaranya dan melumat bibirnya yang merah muda.
“OOOhhh…ampun Tatang. Ennnaaakkkk bangeeeettt…..entoti Nyai truz
sayaaaannngg….” Ummahat itu begitu histeris ketika Tatang meningkatkan
tempo genjotannya. Untungnya, teriakan binal ummahat yang begitu keras
itu langsung diredam Tatang dengan bibirnya agar tak terdengar keluar.

Ternyata urat-urat di batang kontol Tatang telah benar-benar membuat
Nyai Ratni menjadi gila. Ia pun turut menaik turunkan pinggul dan
pantatnya yang montok seirama dengan goyangan erotis Tatang. Keduanya
telah sama-sama bercucuran keringat saat Nyai Ratni melingkarkan kakinya
di pinggul Tatang sehingga ikhwan itu semakin mudah melesakkan kontol
hitam legam nan besar miliknya ke dalam kemaluan menggemaskan milik
ustadzah yang telah begitu binal itu, “OOOhhh….ooohh….yes….Nyai gila,
memeknya unstadzah legit banget euy….Tatang doyan ngentotin Nyai…”

Setelah sekitar 30 menit digagahi oleh Tatang dengan liarnya, gelora
birahi Nyai Ratni hampir sampai di puncak kenikmatan untuk kesekian
kalinya. Ia mulai meracau dan berteriak-teraik tak karuan, nafasnya
sudah begitu memburu demi menatap kemaluannya yang cantik itu dipompa
tanpa ampun oleh ikhwan yang tak henti-hentinya menghembuskan nafasnya
yang panas dan penuh gairah ke wajah Nyai Ratni. “OOhhh…Tatang. Nyai mau
keluar lagi neh…..semprot memek Nyai pake peju kamu dong yang anget n
lengket…..ampuni Nyai Tatang……”

Tatang pun menambah intensitas genjotannya pada vagina yang masih begitu
sempit dan hangat itu ia rasakan. Ia merasa nafsu iblisnya telah hampir
sampai di batas maksimal. Dan begitu Tatang merasakan derasnya
gelombang yang menjalari batang kemaluannya……ia pun mendekap tubuh sang
ummahat idaman dan melesakkan kontolnya sedalam mungkin.

“Aaaaaaaaakkkkkkkkkkhhhhhhhhhh……rasain Nyai peju Tatang, Dasar Nyai pelacur jalang……..”

“Crrrrroooooootttt…..cccrrrooooottt…” Semburan lava panas nan lengket
itu pun menghentak-hentak menghantam dinding memek Nyai Ratni sehingga
mebuat benteng birahi ustadzah berjilbab panjang itu hancur lebur. Ia
balas memeluk Tatang dan mencakar-cakari apa saja yang ia bisa raih dari
tubuh Tatang. Tubuhnya berkelojotan dan menggelinjang bagai seekor
anjing betina yang sedang disemprot air mani si jantan. Dan
masirnya….Nyai Ratni pun melepaskan cairan cintanya yang paling suci dan
paling penuh dengan ovum hingga ia terkulia lemas tak bertenaga.

Seiring dengan terlepasnya cairan cinta keduanya, Tatang pun langsung
roboh di atas tubuh Nyai Ratni. Dengan penis yang masih bersarang di
memek Nyai Ratni seraya menyemprotkan kedutan kedutan kecil penghabisan,
Tatang pun menciumi wajah Nyai Ratni sebagai ucapan terima kasih. Ia
merasa sedikit bersalah karena telah merusak kehormatan dan kesucian
seorang Nyai Ratni yang tampak menggulirkan setetes air mata dari sudut
matanya. Semsntara itu, pasangan zinanya itu kini telah tak sadarkan
diri setelah dipuaskan sepuas-puasnya oleh kuda binal berkontol panjang
itu. Segaris senyum tersungging di bibirnya menyiratkan perasaan hatinya
yang begitu bahagia.Keduanya pun terus berpelukan bagai tak mau
dipisahkan hingga adzan zhuhur membangunkan keduanya.

Proudly powered by WordPress