Pengalaman di Kost

Pengalaman ini terjadi waktu saya masih kuliah. Nama saya Doni. Anak
sederhana keturunan tionghoa. Berperawakan tinggi dan tegap.
Dulu saya kuliah di sebuah universitas cukup ternama di daerah Jakarta
Barat. Karena saya anak daerah, jadi saya memutuskan untuk tinggal di
kost dibanding rumah saudara.

Kost yang saya tempati cukup besar, ada empat lantai dan tiap lantai ada
20an kamar. Sehingga yang mengurus kost pun ada banyak. Dan enaknya,
yang mengurus kost itu semuanya wanita. Usianya pun beragam, dari
belasan tahun sampai menjelang empat puluh. Jumlahnya ada 5 orang. Satu
orang yang menjadi kepercayaan ibu yang punya kost adalah seorang
perawan tua. Orangnya cukup galak juga genit. Bokongnya besar dan
dadanya masih kencang walaupun usianya sudah hampir 40. Itu yang kadang
membuat saya uring-uringan. Namanya Ratna. Yang lain bernama Ani, Tia,
Tuti dan Santi.

Kebetulan kamar saya tidak jauh dari kamar para pembantu kost. Mereka
semua tidur di satu kamar. Jadi pagi-pagi saya bangun dan keluar kamar,
kalau beruntung bisa melihat pemandangan-pemandangan yang membuat mata
langsung melek. Bukan cuma mata saja, yang bawah juga ikut “melek”.
Pernah suatu ketika, ketika Ratna sedang tidak enak badan, dia minta
dikerokanin sama pembantu yang lain. Dari kamar, saya bisa melihat dua
bukit susu yang masih terbungkus ketika Ratna dikerok. Posisinya duduk
tidak jauh dari pintu kamarnya. Waaah, rejeki di hari itu. Dan terus
terang, membuat saya makin penasaran.

Kadang saya mencoba mendekatkan diri dengan mereka, misalnya ketika saya
pulang kampung, saya bawakan mereka oleh-oleh. Ngobrol dengan mereka,
bercanda dsb.

Waktu itu menjelang lebaran. Kuliah libur lama, sehingga banyak anak
kost yang pulang kampung. Tapi saya memilih untuk tidak pulang waktu
itu. Kostpun sepi dan pembantu yang tinggal di kostpun hanya 2 orang.
Yaitu Ratna dan Santi. Santi adalah gadis yang belum sampai 20 tahun.
Badannya kecil, sehingga sebenarnya tidak begitu menarik buat saya.

Malam itu hujan cukup deras. Saya tidak bisa keluar untuk mencari makan.
Jadi saya iseng mampir ke kamar pembantu melihat apa yang mereka
lakukan. Mereka berdua sedang asik menonton TV. Ratna melihat saya masuk
dan dia bertanya, “Kenapa Don?”.
“Gapapa mbak, hujan nih ga bisa cari makan. Lagi nonton apa mbak?”
“Ini Hantu Tanah Kusir.”
“Wah, emang berani mbak nonton yang begituan? Ga takut tar tiba-tiba ada di samping hantunya?”
“Ah, itukan cuma film. Mana ada yang begituan.”
“Hahaa.. Siapa tau toh mbak. Ikut nonton ya, sambil nunggu hujan.”
“Yo wes nonton aja, tapi jangan tar malem kalo ga bisa tidur gedor-gedor kamar mbak ya.”
Kitapun tertawa. Saya mengambil posisi duduk disebelah Ratna. Santi tiba-tiba keluar.
“Mau kemana, San?”, tanyaku.
“Mau ngegosok ko diatas.”
“Nanti aja, tanggung kan nih filmnya.”
“Jangan donk ko, nanti lupa. Bajunya ada yang mau dipake besok sama koko yang di kamar 311.”
“Oh, gitu ya. Ya udah deh kalo gitu.”

Santi pun meninggalkan kami berdua dikamar itu. Hanya aku dan Ratna.
Pikiran-pikiran nakalpun mulai mebayangi kepalaku. Kebetulan saat itu
ada adegan yang mengagetkan. Kami berdua kaget dan saling berpegangan.
Kepala kami tidak sengaja terbentur.
“Aduuuh, mbak gapapa?”, tanyaku sambil satu tangan memegangi kepalaku dan satu lagi berupaya meraih kepalanya.
“Sakit nih!”, jawabnya sambil mencubit pahaku.
“Aduh mbak, bawah kena atas kena nih. Sini kepalanya saya tiupin.”

Sambil tiup sambil mengelus kepalanya. Dalam hati saya berpikir, ini
kesempatan untuk maju lebih jauh. Sayapun memberanikan diri untuk
menurunkan kepala saya. Mencium lehernya dengan lembut. Diapun mendesah,
namun tak melawan.
“Don, tutup dulu pintunya.”
“Siap bos!”

Pintupun saya tutup.
“Kamu berani ya cium saya!”, serunya.
Waduh, gimana nih, pikirku dalam hati. Belum saya jawab, dia lanjut berkata,
“Udah lama nih pengen, tapi ga ada yang berani.”
Suasanapun sejenak hening. Lalu saya beranikan diri memecah kesunyian,
“Mbak pengen apa? Siapa tau bisa Doni bantu.”, kataku sambil tertawa nakal.
Diapun mendekatkan kepalanya dan melumat bibirku.
“Mmmmm.”, desahnya.
Tangankupun mulai bergerilya menjelajah ke dada dan kemaluannya. Saya
baringkan dia sambil tetap berciuman. Tangan sayapun makin lancar masuk
kedalam celananya.
“Ooohh.”, katanya.
“Enak mbak?”, tanyaku.
“Mantep Don! Masukin donk punyamu..”, pintanya.

Akupun mepereteli kain yang melekat ditubuhnya satu per satu. Ada rasa
berdebar ketika melakukannya karena sudah lama sebenarnya saya ingin
melihat bukit susunya secara langsung. Ketika dia sudah telanjang,
sebelum saya buka baju, saya mulai dulu dengan menjelajahi dadanya
dengan mulut. Mulut di dada dan tangan di kemaluan. Diapun
mendesah-desah yang membuat saya makin bernafsu.
“Buruan Don masukin.”, pintanya. “Mbak belum pernah loh Don. Kamu yang pertama.”
“Yang bener mbak? Ini saya juga pertama.”

Kemudia saya cium keningnya dan turun kemulut sambil saya melepaskan
celana. Saya masukan ke kemaluannya yang sudah basah. Cukup sulit waktu
itu, karena ini pengalaman pertama kami berdua. Tapi dengan sedikit
usaha akhirnya, jleeeeb.
“Oooohhh Don. Sakit.”, katanya.
“Sakit ya mbak? Pelan-pelan aja kalo gitu.”

Sayapun melakukannya perlahan-lahan. Maju, mundur, maju, mundur. Oh, nikmatnya.
Tiba-tiba saya merasa kemaluan saya seperti diremas, jadi saya mau keluar.
“Mbak, aku mau keluar.”, kataku.
“Aaaah, Don. Enak Don.”, katanya.
Croooot.. Akupun mengeluarkan spermaku di dalam kemaluannya.
“Enak banget mbak. Thank you yaa”.
“Sama-sama Don. Iya enak banget. Nyesel ga dari dulu begini”.

Kamipun tertawa berdua. Dia tidur disisiku.

Tiba-tiba pintu terbuka. Kami berdua sedang tiduran dan masih telanjang.
Ups, siapa yang masuk. Gawat nih.

Proudly powered by WordPress