Ibuku dan Tante Ani berteman baik, karena Ibu sering menjahitkan baju
atau kebayanya pada Tante Ani. Kualitas jahitan Tante Ani diakui Ibu
lebih baik daripada satu dua penjahit lain yang pernah Ibu datangi.
Terlebih keluarga kami mempunyai prinsip jika seseorang atau perusahaan
telah memberikan kepuasan kepada kami, maka kecil kemungkinan kami
berpaling. Perhatian Tante Ani kepada Ibu sering membuat Ibu menjadi
sungkan sendiri. Sebab beberapa kali pesanan Ibu digratiskan
pembayarannya. Hal itu disebabkan promosi tak langsung dari Ibu.
Teman-teman Ibu bertanya di mana ia menjahitkan baju. Berawal dari satu
dua orang teman Ibu yang menyatakan puas atas hasil kerja Tante Ani,
sekarang Tante Ani telah mempunyai lebih dari dua puluh orang langganan
tetap. Berkah dari peningkatan order jahitan juga tidak dinikmati
sendiri oleh Tante Ani. Kini pegawainya berjumlah delapan orang dari
yang semula dua orang.
Tante Ani berumur empat puluh dua tahun. Suaminya telah berpulang empat
tahun silam. Berwajah keibuan, cantik, sedikit bulat telur, tinggi
badannya sepundakku. Lengan dan betisnya sedikit berambut tipis.
Rambutnya sebahu lebih. Aku hanya bisa mengira-ira ukuran dadanya dari
balik baju atau kebaya ketika Tante Ani memakainya, kemungkinan tiga
puluh empat B. Sedang dua bulatan di bawah pinggangnya kupikir masih
cukup padat bila kubandingkan dengan teman-teman perempuanku. Tapi
hal-hal seksualitas Tante Ani tak pernah terlintas dalam benakku. Aku
hanya mengagumi kelembutan dan kecantikannya, juga karena aku
menghormatinya sebagai teman Ibuku. Semua itu baru dapat kubuktikan
ketika kejadian ini yang sebenarnya sebuah ketidak sengajaan, tetapi
akhirnya berkelanjutan.
Kring..kring..suara telpon rumahku sudah lima menit tadi berbunyi.
Sengaja aku tak mengangkatnya karena kesal saat sedang santai di rumah
membaca buku jadi terganggu. Tapi kemudian aku bergegas akan mengangkat
telpon ketika Ibu berteriak memanggil namaku agar segera mengangkatnya.
Ahh..telat, Ibu sudah mengangkat telpon. Kulihat mata Ibu sedikit
membesar yang kuartikan ada nada kemarahan di sana. Lalu Ibu tersenyum
lebar ketika kudengar,”oh iya..nggak apa-apa jeng. Iwan nggak
kemana-mana kok. Iya nggak apa-apa..kayak sama siapa aja tho jeng..Habis
ini biar dia beres-beres. Iya..hati-hati nanti jeng..”. “Hmm..ada apa
ya ini..kok namaku disebut-sebut. Dan siapa yang di ujung telpon
sana..”, hatiku bertanya-tanya. Kemudian aku mendekati Ibu,”siapa Bu
tadi. Terus nyebut namaku?”
“Kamu nggak ada acara hari ini kan..cepet mandi terus ganti baju. Temani
Tante Ani nganter kebaya ke Malang. Nggak usah ngebut. Si Joko nggak
bisa nyopiri soalnya sodaranya juga kawinan.” Rentetan kalimat Ibu tak
bisa kusela dan rasanya tak mungkin juga aku menolaknya. Bisa dua hari
diomeli Ibu nanti, belum lagi kalau Bapak nanti dikasih tahu Ibu. Sambil
garuk-garuk kepala yang jelas tidak sedang gatal dan senyum
nyengir,”Emm..nggak ada acara kok Bu. Aku langsung mandi sekarang..”
“Bagus..itu baru anak Ibu. Nggak usah ngebut nanti. Yang penting
diterima sekitar jam dua.” Aku melirik jam dinding,”masih lima jam lagi.
Semoga Porong nggak macet nanti.” “Iya Bu..aku mau mandi sekarang”,
jawabku. “Halahh..mau santai di rumah kok ya gak bisa. Tapi nggak
apa-apalah. Tante Ani sudah kayak sodara..cantik lagi. So di perjalanan
bakal nggak mbosenin..hehehe.” Aku senyum-senyum sendiri sambil berjalan
ke kamar mandi. Sambil menggosokkan sabun berbagai pikiran
melintas,”sampe jam berapa ya nanti. Moga nggak sampe sore biar nggak
kemaleman nyampe rumah. Pake kaos aja nanti..toh nggak nemani sampe
acara jalan. Ngedrop baju, ngecek pas nggak, ngobrol sebentar terus
balik .” Acara mandi selesai lalu aku masuk ke kamar, memilih kaos yang
akan kupakai. Sedikit kusemprotkan parfum di pertengahan dada dan
pergelangan tangan. Sebelum keluar kamar tak lupa kuselipkan salah satu
gagang kaca mata hitam di kaos. Kucari Ibu di dapur untuk berpamitan.
Dan kukendarai sepeda motorku menuju rumah Tante Ani.
Aku parkir sepeda motorku di depan rumah Tante Ani. Kulihat Rini salah
satu pegawai Tante Ani menghampiriku,”masukkan aja Mas sepedanya. Ibu
masih siap-siap di dalam.” “Hm..ya”, jawabku sambil menuntun sepeda
motor masuk rumah. Aku langsung menuju ruang sebelah kiriku karena hapal
di situ tempat menata baju-baju serta kebaya pesanan orang. Kulihat
Tante Ani dibantu Ida sedang melipat kebaya-kebaya. “Kok dilipat,”
pikirku. Pertanyaan itu belum terjawab bersamaan denting gelas beradu
dengan es didalamnya kudengar dari sebelah kananku. Rini meletakkan
gelas berisi teh serta tiga buah es di meja depanku. “Diminum Mas..”,
katanya. “Eh..ya..makasih,” jawabku. Baru kuperhatikan saat ini kalau
Tante Ani memakai jeans biru gelap bersabuk model gelang, dipadu turtle
neck model sleeveless warna pink. Glek..mendadak aku harus menelan
sedikit sisa es teh yang masih ada di mulut. “Shittt..tambah cakep aja
si tante. Paduan baju dan celananya cuocok. Hmm..andai dia seumurku
pasti kuuber untuk jadi pacar..”, pikiranku jadi kemana-mana. Pada
dasarnya Tante Ani sudah cantik. Jadi ketika ia memakai baju apa saja
pasti cocok.
Lima belas menit kemudian Tante Ani selesai melipat dan memasukkan
kebaya-kebaya itu di sebuah kardus khusus. Lalu ia menghampiriku,”maaf
ya Mas lama nunggu..” “Oh nggak apa-apa Tante..kan aku nggak kemana-mana
hari ini. Pokoknya sampe selesai urusan Tante di Malang..”, sahutku
sambil tersenyum. “Jadi gini Mas..rencana berubah. Nggak jadi pake
mobil. Nggak tau itu kenapa nggak mau nyala mesinnya. Dua hari kemarin
masih jalan kok..” “Boleh aku liat mobilnya Tante..?” “Aku ambil kunci
dulu..Mas ikut aja sekalian ke garasi.” Aku beranjak dari duduk dan
mengekor Tante Ani. Bentuk pantat Tante setelah sedekat ini baru
terlihat, ternyata memang menggoda. Masih menantang, cukup padat.
“Ahh..kenapa jadi dag dig dug gini..”, aku berusaha mengenyahkan
pikiranku. Sesampainya di garasi Tante menyerahkan kunci
mobilnya,”mobilnya yang itu Mas..” Kulihat sedan warna hijau pupus pada
posisi di belakang pintu garasi. Aku buka kap mesinnya lalu kuputar
kunci untuk menyalakan mesin. Sekali dua kali tak ada reaksi. Lalu
kuperiksa sambungan-sambungan busi dan aki yang semuanya tersambung
dengan benar.
“Gimana Mas..apanya yang nggak nyambung?”, tanya Tante Ani. Karena aku
konsentrasi pada mesin mobil sehingga tidak memperhatikan kalau ia
ternyata ada di sebelah kiriku. “Nggak tau nih Tante..semua nyambung..”,
jawabku sambil sedikit meliriknya. “ternyata lengannya juga berambut
tipis-tipis. Uhh..semakin…”, pikiranku melayang-layang lagi. Rambutnya
dijatuhkan semua ke sisi kirinya ketika menundukkan kepala melihat
mesin mobil. Sekilas terlihat tali bh warna hitam dari sisi kanan
kaosnya. “Aduh..kenapa juga dia pake warna itu..”, perlahan terasa ada
yang bergerak di bawahku. “Hiyaahhh..gawat kalo dia sampe tau senjataku
bangun..”, aku berusaha keras mendinginkan suasana di bawah sana. Aku
lalu bergerak sedikit cepat untuk membantu hal itu dengan masuk ke
mobil. Kuputar kunci lagi yang tetap tidak ada reaksi. “Tetep nggak
nyala Mas..?”, sebentuk suara lembut bertanya. “Emm..malah ikut aku..”,
Tante Ani meletakkan satu lengan di kaca sopir yang kubuka, sedang yang
kiri di atas body mobil serta kepalanya yang dijulurkan hampir
mendekatiku. Aku sengaja menatap petunjuk aki dan teman-temannya agar
tidak menengok sebelah kananku, yang aku hampir yakin tinggal beberapa
senti lagi dari bibir Tante Ani. “Kayaknya aki mobilnya Tante..indikator
aki agak redup itu..”, sambil kusentuh tanda aki. “Jarang dicek ya
Tante?” “Iya sih…hehehe. Habis si Joko mesti bilang iya Bu nanti aja,
masih normal. Kalo kemarin-kemarin dicek pasti nggak gini..huh..”, Tante
Ani menggerutu. “Hehehe..ya mo gimana lagi Tante. Kalo ngecas sekarang
jelas nggak mungkin. Masak cuma sejam dua jam”, jawabku sambil
menggerakkan tubuh mengisyaratkan akan keluar dari mobil. Tante Ani lalu
beringsut mundur sedikit. Pintu mobil kututup dan kuserahkan kunci di
tangannya. “Hmm..tangannya tetep halus walo untuk kerja..” “Terus gimana
sekarang Tante..?” “Hmm..ya pake sepeda motormu..”, jawabnya tanpa
beban.
“Haa..gimana caranya Tante..?”, aku bertanya dengan sedikit melongo dan
garuk-garuk kepala. “Masuk aja yuk..sekalian siap-siap berangkat,” Tante
tidak menjawab pertanyaanku. Kembali kuikuti langkahnya. Tante Ani
menuju sofa yang terdapat kardus coklat tempat kebaya-kebaya tadi
dilipat. “Ini aku yakin nggak melebihi lebar di bawah setang sepeda
motormu Mas..masih cukup ditaruh situ.” Aku mengangkat kardus itu dan
mencoba mengira-ira diameter bawah setang sepeda motorku. “Udah..aku
yakin bisa Mas. Tolong bawain ke depan ya Mas..aku ambil jaket dulu,”
dengan tersenyum ia menuju gantungan baju berputar lalu mengambil jaket
warna coklat muda. Kemudian mengambil sepatu flat warna putih di rak
sepatu-sepatunya di sebelah gantungan baju tadi. Aku tak menjawab
perkataannya karena mataku entah kenapa mengikuti terus langkahnya dari
tempatku berdiri. Lalu aku melangkah ke halaman depan rumah dengan
sedikit rona merah di pipiku yang aku yakin takkan terlihat oleh
siapapun tadi. Kuletakkan kardus itu di bawah setang sepeda motor.
Benar..lebarnya hanya sedikit membuat kedua lututku membuka. Jika saja
lututku membuka lebih lebar lagi berarti keamanan dan kenyamanan kami
berdua bakal berkurang.
“Tuh..pas tho..hehehe..”, canda Tante Ani. Kepalaku menoleh ke kanan. Ia
sudah memakai helm half face dan kaca mata hitam yang membuat orang tak
menyangka kalau pemiliknya sudah setengah baya. “Hehehe..iya
Tante..sip..”, aku tersenyum. Tanpa banyak bicara Tante Ani langsung
menempatkan diri di belakangku. Kudengar suara retsluiting jaket. “Yuk
berangkat Mas..biar nggak kesiangan..”, Tante berkata sambil sedikit
memeluk pinggangku. “Tante ini tipe nggak basa basi. Belum kutanya kalo
membonceng gini biasa pegangan handle samping atau gimana. Memang asyik
orangnya..”, benakku berkata. “Ok Tante..eh iya..Tante biasa diajak
ngebut atau santai aja?” “Kalo memang perlu ngebut ya nggak apa-apa.
Terserah Mas aja..yang penting kita selamat”. “Ya..itu yang paling
penting Tante”, sambil kutekan tombol starter. Tak berapa lama kami
sudah ada di jalan utama. Sepanjang jalan jika keadaan memungkinkan kami
berbincang. Ketika salah satu harus bertanya atau menjelaskan dengan
sedikit berteriak sebab di sebelah ada truk atau bus, yang membuat kami
tertawa bersama. Lama-lama kurasakan kedua tangan Tante sudah menyatu di
perutku. Sedikit banyak membuat aku terlena karena kedua gunungnya
otomatis makin menekan punggungku. Juga terkadang mencubit pinggangku
sewaktu aku menggodanya. Mungkin orang akan menyangka jika kami sepasang
kekasih.
Kami melewati terminal Arjosari pukul sebelas siang, langsung menuju
gedung acara perkawinan di pusat kota. Kami diarahkan petugas untuk
parkir di area khusus keluarga. Para kerabat dan panitia acara sudah
berdatangan. Tante Ani disambut seorang wanita yang rupanya dari pihak
wanita. Kami diantar ke ruang ganti keluarga pengantin. Kardus coklat
aku letakkan di salah satu meja rias lalu kudekati dan kusentuh bahu
Tante Ani,”Tante..aku taruh sini ya. Aku nunggu di luar. Kalo butuh
bantuan sms ya..” Tante Ani yang sedang berbicara dengan ibu-ibu hanya
mengangguk saja lalu kembali melanjutkan pembicaraan. Di luar gedung aku
mencari tempat yang nyaman untuk melihat-lihat situasi sambil merokok.
Aku keluarkan handphone dari saku celana kiri dan kutekan shortcut opera
mini. Sambil menunggu Tante Ani sejenak browsing ke sana sini.
“Mas..Mas Iwan..”, seperti ada suara memanggilku. Opera mini aku offkan
dan kulihat di halaman parkir kiri kanan tidak ada orang yang aku kenal.
“Mas..Mas..”, baru aku sadar itu suara Tante Ani yang sudah berjarak
sepuluh langkah dariku. “Eh..ya Tante..sorry tadi asyik
internetan..hehehe..”, aku langsung membuka suara sambil nyengir.
“Huu..makanya aku panggil-panggil nggak denger..”, Tante menjawab dengan
bibir sedikit maju. “Ayo masuk..disuruh makan dulu sama Bu Retno. Habis
itu jalan-jalan sebentar terus pulang”, sambil menggandeng tangan
kiriku. Aku merasa sedikit tidak enak ketika digandeng tadi. Sebab kalau
ada yang lihat dan mengenal Tante Ani bisa menjadi bahan omongan di
kemudian hari. Untungnya hanya sekejap dan Tante sendiri yang melepas
tangannya.
“Aku nggak gitu laper Tante..” “Ya nggak usah pake nasi. Cari aja kayak
sup atau lainnya. Aku juga nggak makan nasi nanti Mas..” Di meja
prasmanan khusus panitia dan kerabat sebelum acara mulai ada lima jenis
masakan. Ada sate dan lontong di sana yang langsung aku tuju. Kulihat
Tante sedikit bingung akan mengambil apa lalu ia mendekatiku,”Iya
ahh..ambil sate juga. Ambilin buatku ya Mas..jangan banyak-banyak
lontong dan satenya.” “Ya Tante..siap..”, sahutku. Tante Ani mengambil
mangkok dan mengisinya dengan sedikit sup, kemudian membawa dua gelas
air putih. Kucari kursi yang masih kosong di salah satu sudut ruangan.
Aku serahkan piring berisi sate dan lontong ke Tante Ani. Ia memilih
memulai dengan sedikit menyendok sup. “Eh..supnya enak juga lho
Mas..cobain nih..”, sambil langsung menyuap aku. Agak kaget aku dengan
aksinya. Mau nggak mau kubuka mulutku dan kuseruput sup itu. Entah kalau
ada yang melihat acara suap-suapan tadi. “Iya..enak juga Tante.”
“Kuambilin ya Mas?” “Nggak Tante..nggak kemakan nanti satenya.” Setengah
jam kemudian kami berpamitan pada yang punya hajat.
“Terus sekarang kemana Tante..?”, tanyaku ketika akan keluar dari
parkiran gedung. “Emm..puter-puter Malang bentar ya Mas. Udah lama nggak
ke Malang soalnya. Mau kan Mas..?”, sambil menatapku. “Iya
Tante..pokoknya hari ini khusus buat Tante yang cantik…eh..”, aku tak
sadar mengucapnya dan langsung kupelankan suaraku. “Hehehe..makasih
Mas..eh..tadi bilang apa?” “Aduh…dia denger nggak ya tadi..”,
jantungku berdebar sebab takut nanti Tante marah. “Nggak..iya..pokoknya
siap anter kemana aja..”, aku menjawab dengan salah tingkah dan nada
yang ke sana kemari. “Sip kalo gitu..yuk jalan..”, Tante sedikit
menghentakkan pantatnya di boncengan lalu memelukku erat. Kami keliling
kota Malang siang itu. Langit yang tadi cerah, di beberapa bagian
terlihat mendung. Sialnya hal itu baru aku ketahui ketika sudah di
daerah yang mendung. Aku lalu mengingat-ingat jas hujan ada di bagasi
atau tidak. Lalu kuarahkan sepeda motor ke pinggir. “Ada apa Mas?” “Mau
ngecek bawa jas hujan nggak Tante.” Pas sekali. Jas hujan ada di
rumahku. “Aduh..lupa nggak kumasukkan tadi Tante..gimana kalo hujan..”
“Ya berteduh dulu aja Mas..pokoknya kalo nggak terlalu deras jalan aja.”
Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju toko oleh-oleh.
Mengingat kami membawa sepeda motor maka oleh-oleh yang dibeli tidak
terlalu banyak. Baru beberapa meter meninggalkan toko tiba-tiba hujan
turun seperti tandon air yang jebol. Sebisa mungkin aku mengendalikan
diri untuk tidak memacu sepeda motor walau harus mencari tempat
berteduh. Berulang kali harus kusapu air yang menempel di kaca helm.
Tante Ani memelukku makin erat. Helmnya menekan kepala belakangku.
Akhirnya kutemukan satu toko yang tidak terpakai. Kami berdua menggigil
kedinginan. Entah ide dari mana atau suatu refleks saja, kupeluk Tante
Ani. Tangan kanannya masuk ke jaketku dan memeluk pinggangku. Ia tak
keberatan kupeluk rupanya. Tante mendongakkan sedikit kepalanya dan
tersenyum. Hujan masih turun tetapi sudah berkurang volumenya. Cukup
lama untuk menanti hingga gerimis sekarang. “Gimana Tante..nunggu sampe
berhenti atau jalan lagi?” “Jalan aja Mas..semoga nanti pas kita jalan
berhenti hujannya.” Aku jalankan sepeda motor tidak terlalu cepat sebab
jalanan licin. Byur..rupanya hujan sedang tidak bersahabat dengan kami.
Sedikit panik aku mencari tempat berteduh yang belum kutemukan. Di
kejauhan kulihat ada SPBU. Ada beberapa orang yang berteduh sementara di
situ. Seluruh tubuh kami semakin basah. Kasihan Tante Ani, badannya
tambah gemetar. Aku pegang dua tangannya.
“Tante..kalo hujannya berhenti cari rumah makan atau warung ya..ngopi
atau jahe panas. Tante gemetaran gini soalnya. Kalo sampe pingsan bisa
dikurung Ibu aku nanti..” Walau dengan badan menggigil Tante masih
sempat mencubit perutku, “biarin..biar kapok. Aku telponin sekarang,
bilang kalo aku nggak diperhatiin.” “Aduh..jangan dong Tante. Terus
maunya Tante gimana sekarang?” “Udah maghrib juga sekarang Mas. Cari
penginapan atau hotel aja. Sekalian baju kita dikeringin.”
“Haa..nginep..? ntar dicariin Ibu..” “Udahh..dipikir nanti. Yang penting
sekarang kita cari hotel,” jawab Tante sambil menggandeng tanganku.
Gerimis mengiringi pencarian hotel. Sepanjang jalan hatiku bingung
campur aduk. “Gimana bilang ke Ibu..terus nanti ambil dua kamar. Aku
nggak bawa uang. Emang Tante bawa duit banyak..” Kami sampai di depan
sebuah hotel. “Di sini Tante?” Ia belum menjawab, mungkin berhitung
berapa biaya semalam juga untuk makan dan cuci baju. “Iya..di sini aja.
Tante udah nggak tahan dinginnya.” Segera kuparkir sepeda motor. Tante
Ani masuk ke hotel dulu lalu menungguku di depan lift. Ia melambaikan
tangannya saat aku mencari sosoknya. “Nih Mas kuncinya..”, Tante
menyerahkan gantungan kunci berkartu berlogo hotel dengan nomor 324.
“Lhaa..kok cuma satu kamar Tante..?” “Iya..ngapain dua kamar. Cuma
semalam buat ngeringin baju..hehehe.” Kugaruk-garuk kepala,”terus gimana
ngatur tidurnya?” “Dibahas di kamar aja. Yang penting cepet mandi dan
panggil petugas laundry. Ayo Mas..”, jawab Tante sambil menggandeng
tanganku masuk lift.
Kubuka pintu kamar dengan memasukkan kartu lalu kulepas untuk dimasukkan
ke kotak lampu dan ac. Sebuah single bed cukup luas, sofa ukuran dua
orang, televisi dua puluh satu inch, serta kulkas kecil yang ada di
kamar. Kami melepas jaket dan sepatu. Saat akan melepas baju dan celana
teringat kalau aku tak sendiri. Kulihat Tante mengeluarkan handphone
dari tasnya. “Bu Retno..maaf baru ngasih kabar. Saya nginep di Malang.
Ditodong sama teman ketemu di gedung kawinan tadi. Kebetulan ada kamar
kosong buat Mas Iwan. Iya..terima kasih Bu..” “Tante nelpon
Ibu?terus..”, tanyaku. “Iya..nggak apa-apa. Udah diijinin tadi.
Hati-hati di jalan kalo pulang besok.” Aku tersenyum lega mendengarnya.
Tante Ani sedang membuka daftar menu makanan. “Mas..nanti pesenkan nasi
goreng seafood sama jahe panas ya. Aku mau ke kamar mandi. Terus nanti
panggilkan laundry ya..” “Ya Tante..nanti Tante pake baju apa?”
“Emm..nggak tau nanti..”, sambil masuk ke kamar mandi. Kudengar suara
keran air mengisi bathtube. Kupilih mie goreng seafood dan jeruk hangat
juga tambahan selimut pada room service. Kuputuskan nanti aku tidur di
bawah saja, dialasi kain putih pembungkus selimut di ranjang.
Kebiasaanku dari dulu menyimpan sejumlah uang di lipatan dompet ada
benarnya. Kuhitung keseluruhan harga makanan dan tambahan selimut tidak
lebih dari seratus ribu rupiah. Tidak enak rasanya semua yang membayar
Tante Ani. Lima belas menit kemudian terdengar bel pintu kamar. Petugas
room service meletakkan pesanan kami di meja sebelah ranjang lalu
keluar. Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Kepala Tante Ani sedikit
keluar dari balik pintu. “Nih Mas..kalo laundrynya datang biar cepet
dikerjain nanti,” dan melempar handuk putih. Aku yang masih kaget cepat
menangkap handuk itu. Kekagetanku belum lengkap sebab pintu kamar mandi
kembali terbuka,”Mas..kasihkan orangnya ya ini..” Kepala Tante keluar
lagi juga tangan kanannya yang mengangsurkan kaos serta jeansnya. Aku
berjalan menuju kamar mandi dan kuterima pakaian Tante. “Makasih ya
Mas..”, sambil tersenyum manis. “Eh..iya Tante..” Aku lepas baju dan
celanaku. Hanya tubuh bawahku yang tertutupi handuk putih.
Baju, celana dan jaket Tante kutumpuk dengan milikku. Bel pintu
terdengar lagi. Petugas laundry mengambil tumpukan pakaian di keranjang.
Tante Ani keluar dari kamar mandi dengan handuk yang menutupi dada
hingga separuh pahanya. Pria manapun pasti akan menatap pemandangan
seperti itu. Tante sepertinya tidak ambil pusing dengan hal itu. Ia
menuju kaca besar di depan ranjang. Tersadar bahwa kemungkinan besar
Tante memergoki tatapanku maka aku berkata,”pesanan sudah di meja Tante.
Baju dan teman-temannya udah dibawa laundry. Ganti aku yang mandi ya..”
Tante melirikku dari kaca,”iya Mas..” Kunyalakan shower dan kuatur
panas dan dinginnya air. Sambil mandi aku berpikir,”gilaa..kayak nggak
ada orang aja di kamar. Atau karena keadaan aja ya..Hmm..tubuh Tante
memang masih bagus untuk yang seumuran. Nggak nyangka..Dada dan
pantatnya sungguh menggoda..” Senjataku dengan segera bangun. Aku
berpikir apakah kuteruskan dengan onani atau tidak. Akhirnya hasrat itu
kutuntaskan, tentu dengan membayangkan Tante Ani. Kemudian aku keluar
kamar mandi dengan hati yang tambah dag dig dug.
Tante sedang melihat film dari sebuah channel luar. “Makan yuk
Mas..laper aku..”, ketika melihatku sudah selesai mandi. “Iya..aku juga
laper. Mungkin karena kehujanan terus tadi.” Tante menarik sebuah kertas
tanda lunas pesanan kami dari nampan. “Lho..kok udah dibayar..jadi
ngrepotin kamu Mas..” “Nggak Tante..kebetulan ada kok..”, jawabku. Tante
lalu duduk di kursi depanku. Jarak kami hanya dibatasi meja kecil. “Ayo
makan Mas..” Sengaja aku minum seteguk jeruk hangatku dulu untuk
membasahi tenggorokan yang mendadak langsung kering. Bagaimana tidak.
Sebentuk wanita idaman pria ada di depanku. Hanya berbalut handuk lebar.
Kutahu Tante tidak memakai bh dan celana dalam karena semua itu
tergantung di kamar mandi. Memang ada benarnya sebab keseluruhan baju
kami basah luar dalam. Akhirnya aku juga membuka celana dalamku tadi
sebelum mandi. Sesekali Tante menunduk mengambil gelasnya. Belahan
dadanya sedikit terlihat. Paha yang berambut tipis dan makin kelihatan
karena duduk, membuatku sekuat mungkin menekan keinginan senjataku yang
ingin bangun. Pasti terlihat oleh Tante kalau itu terjadi.
Sekitar sepuluh menit kami makan tanpa ada pembicaraan, masing-masing
merasa kikuk karena situasi. Mungkin agar suasana segera cair Tante
berkata,”Tante lihat kamu jarang bawa teman cewek ke rumah Mas..kenalin
ke Tante juga dong..hehehe..” Aku berusaha menatap matanya, tidak ke
yang lain,”emang belum ada yg pas untuk jadi pacarku kok Tante..teman
biasa semua..hehehe..” “Ah masa sih..yang kapan hari aku ketemu di rumah
Ma situ bukannya pacarmu?” “Oo si Nia..nggak. Dianya aja yang
pengen..hahaha.” “Sok ye ah kamu Mas..hahaha. Jangan kelamaan
sendirian..nggak bisa mesra-mesraan nanti..hihihi.” “Kalo ada cewek yang
kayak Tante pasti langsung kujadiin pacar..hehehe..ehm..ehm..”, saat
kuucap itu tenggorokan menjadi gatal seketika. Kulirik sekejap mata
Tante dan kebetulan ia juga menatapku. Tanpa meminta persetujuanku Tante
mengambil jeruk hangatku dan meminumnya sedikit,”minta dikit ya Mas..”
“Gak apa-apa Tante..ambil aja.” “Kenyang aku Mas..nggak habis. Aku mau
tidur dulu ya..capek,” kata Tante sambil meletakkan piring di meja lalu
ke kamar mandi. Pintunya hanya ditutup tiga perempat. “Hmm..Tante marah
ya..aku harus minta maaf nanti,” pikirku. Kuselesaikan makanku yang
sudah tidak berselera. Tak lama Tante keluar dari kamar mandi. Sekarang
aku yang masuk. Saat keluar kulihat Tante di depan cermin sedang
mengoleskan krim wajah juga menyemprotkan sedikit parfum di dada.
“Mungkin kebiasaan Tante sebelum tidur semprot sedikit parfum kali ya..”
Kemudian Tante naik ke ranjang, sebelum masuk ke selimut handuknya
dilepas. “Met tidur ya Mas..”, ucapnya. “Iya Tante..met tidur juga..”
Terbayang dibenak bahwa di balik selimut ada sesosok wanita dewasa yang
nyaris sempurna tanpa terbalut busana. Kugeleng-gelengkan kepalaku
sambil senyum-senyum sendiri. Kemudian kugelar secarik kain putih di
bawah ranjang lalu kulepas handukku dan selimut kututupkan di tubuhku.